KEARIFAN LOKAL, ETOS
KERJA DAN PENGEMBANGAN BISNIS DI INDONESIA
MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika Binis
Dosen Pengampu : Prof.
Dr. H. Muhammad Djakfar, SH., M.Ag
Disusun oleh:
Ilham
Muzaki
NIM: 17510024
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
2019/2020
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT,
karena dengan rahmat, ridho dan karunia-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Kearifan Lokal, Etos Kerja dan Pengembangan Bisnis di Indonesia”
Selama penyusunan makalah ini penulis banyak
mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada: Bapak Prof. Dr. H.
Muhammad Djakfar, SH., M.Ag Sebagai
Dosen mata kuliah Etika Bisnis, Keluarga tercinta, serta Teman-teman dan
berbagai pihak yang telah memberi masukan dan saran kepada penulis.
Dalam penyusunan makalah ini penulis telah
berusaha sebaik-baiknya, namun penulis menyadari atas segala kekurangan itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penyusunan makalah
ini.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih atas
segala bantuan dari semua pihak yang terlibat dalam penulisan Makalah ini.
Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Aamiin.
|
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
B. Rumusan
Masalah
C. Tujuan
Masalah
BAB
II PEMBAHASAN
A. KEARIFAN
LOKAL
B. ETOS
KERJA
1. Etos Kerja: Perbedaan Konseptual
2. Pengertian Etos Kerja
3. Ciri-Ciri Etos Kerja Islami
C. PENGEMBANGAN
BISNIS DI INDONESIA
1. Target Hasil: Profit Materi dan Benefit
Non-materi
2. Pertumbuhan, artinya Terus Meningkat
3. Keberlangsungan, dalam Kurun Waktu Selama
Mungkin
4. Keberkahan atau Keridhaan Allah
D. Membangun
Etos Bisnis di Indonesia: Model dan Institusi
1. Peran Sentral Ulama
2. Peran Pondok Pesantren: Belajar dari
Pesantren Salafi
3. Peran Lemabaga Pendidikan Formal
4. Peran Keluarga
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Zaman Sekarang yang
dikenal dengan sebutan era globalisasi yang didominasi oleh pesatnya
perkembangan informasi dan teknologi telah membawa perubahan besar terhadap
kehidupan masyarakat dalam banyak segi. Perubahan itu membawa kemajuan yang
begitu luar biasa, sekaligus menimbulkan kegelisahan di kalangan orang banyak.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi planet bumi ini kian
menyempit, seakan-akan sekat antar daerah dan antar bangsa tidak lagi
menjadikan penghalang untuk melakukan komunikasi dan mengakses informasi yang
sangat cepat. Manusia zaman dahulu yang begitu gelap pengetahuannya tentang
ruang angkasa, kini mulai terkuak lebar dengan bantuan kemampuan teknologi yang
diciptakannya sendiri.[1]
Dengan
adanya para pebisnis baru di era ini, maka suatu hal penting bagi para pebisnis
untuk mengetahui tentang Etika Bisnis. Tidak hanya mengetahui dan memahami tapi
juga diperlukan adanya suatu Penerapan pada bisnisnya. Dengan begitu, para
pebisnis tidak hanya berpacu pada profit oriented tapi juga memeperhatikan
Etika dalam berbisnis, sehingga bisnis yang dijalankan dapat berjalan dengan
baik.
Akan tetapi, tidak semudah itu didalam
Penerapan Etika Bisnis di Indonesia karena ada sebuah paradigma klasik yang
menyatakan bahwa ilmu ekonomi adalah bebas nilai (value free) yang maksudnya
Etika bisnis hanyalah mempersempit ruang gerak keuntungan ekonomis. Padahal,
prinsip ekonomi, menurut mereka adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.
1. Apa
penjelasan dari kearifan lokal ?
2. Apa
definisi dari etos kerja ?
3. Apa
ciri-ciri etos kerja Islami?
4. Bagaimana
pengembangan bisnis di Indonesia ?
1. Untuk
mengetahui penjelasan dari kearifan lokal
2. Untuk
mengetahui definisi dari etos kerja
3. Untuk
mengetahui ciri-ciri etos kerja Islami
4. Untuk
mengetahui pengembangan bisnis di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut
Rahyono, kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok
etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat.[2] Artinya,
kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka
dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut akan
melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui
perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut.
Agama (religion) yang
bersumber dari ajaran wahyu dan kearifan lokal (local wisdom) yang bersumber
dari kebiasaan (nilai adat) merupakan dua etnis yang berbeda. Namun demikian,
bukanlah tidak mungkin keduanya telah terjadi sebuah dialektika di dalam
masyarakat. Dalam arti, dalam perjalanan sejarah hidup (historical of life)
sebuah komunitas, nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang telah banyak
diwarnai oleh ajaran agama mereka. Dalamhal ini, antara lain dapat diamati
bagaimana kearifan lokal yang berkembang di daerah, di mana Islam menjadi agama
mayoritas penduduk lokal seperti daerah Madura dan Minangkabau.[3]
Bahkan, kedua entitas tersebut dapat
dikatakan kaya nilai yang mampu memberuikan semangat kepada pemeluknya agar mau
bekerja keras dalam memenuhi kehidupanya, sebagaimana tercermin dari kedua
etnis di Indonesia, yakni etnis Madura dan Minangkabau. Kedua etnis ini secara
sosiologis mengandung titik persamaan, antara lain sama-sama sebagai Muslim
yang taat, selain menjunjung tinggi nilai-nilai adat setempat. Di antara pesan
moral kalangan etnis Madura terungkap dalam peribahasa (parebasan), “bapa’,
babu’, guru, rato,” yang maksudnya agar masyarakat Madura mau mentaati
petuah bapak dan ibu dalam keluarga, guru di sekolah, dan perintah penguasa
dikampung di mana mereka hidup. Jika dikatakan bahwa pada umunya orang Madura nyare
lako (mencari kerja), dapat dimaknai bahwa mereka bersedia bekerja apa
saja, asalkan mendatangkan hasil. Bagi mereka, berapa hasil yang diperoleh,
nampaknya tidaklah menjadi pertimbangan yang utama, karena yang dikejar mereka
adalah mendapat hasil, sebagai syarat untuk menyambung hidup bagi dirinya
sendiri beserta keluarganya. Oleh sebab itu, dengan filosofi seperti inilah,
mereka sanggup memasuki dunia bisnis apa saja, terutama disektor informal yang
tidak, atau bahkan masih jarang dilakukan oleh etnis lain.
Hanya saja perlu dipahami,
berdasarkan hasil penelitian,[4] etnis Madura yang
berlatar belakang santri, motivasi mereka dalam bekerja lebih disebabkan faktor
agama sebagai bagian dari ibadah kepada Tuhan. Di samping juga karena faktor
lingkungan (sosiologis-adat-tradisi) yang mendorong siapapun orang Madura harus
bekerja keras (nyari engon) untuk diri dan keluarganya. Jika tidak,
masyarakat akan menstigma mereka sebagai pemalas (otonggul to’ot), tidak
cakap (ta’ brenteng, ta’ pettel, ta’bilet), kawin hanya bermodalkan alat
kemaluan (gun abandha peller), dan kata-kata lain yang bisa menurunkan
rasa harga dirinya.
Sebaliknya dari kalangan non santri,
dapat dipahami, mereka lebih bermotivasi karena tradisi orang Madura yang
beretos kerja yang tinggi sehingga akhirnya mereka berani merantau keluar
Madura. Motivasi bekerja sebagai ibadah, nampaknya hanya terimbas oleh
lingkungan mereka yang agamis, sebagaimana karakter masyarakat Madura pada
umunya.[5]
Bertolak pada motivasi kedua
kelompok etnis Madura di atas dapat dipahami, bahwa sejatinya yang mendorong
etos bisnis etnis Madura, tidak semata-mata karena faktor agama, tetapi juga
karena faktor lain yang sudah menjadi filosofi dan tradisi masyarakat Madura
secara turun-menurun. Filosofi inilah kiranya yang dapat dikategorikan sebagai
nilai kearigan lokal (local wisdom).
Demikian pula di lingkungan etnis
Minangkabau, dikenal pepatah yang sangat populer, “adat bersendikan syara’ dan
syara’ bersendikan kitabulloh,” niscaya telah banyak memberi warna pada
kepribadian orang Minang.[6] Betapa kuat pengaruh
adat di kalangan etnis Minang, ditandai adanya keterpisahan antara pengawal
agama dari pada pengawal adat. Keduanya, sama-sama dihormati di mana pemangku
agama (syara’) berkompeten mengawal hal-hal yang berkaitan dengan masalah gama.
Adapun kompetensi pemangku adat mengawal segala urusan yang berhungan dengan
masalah kehidupan yang diatur berdasarkan adat.[7]
Kuatnya kontrol adat antara lain
ditandai dengan sekalipun orang Minang telah ada di rantau orang, segala perilaku
mereka selalu terpantau di daerah asal.[8] Dengan adanya kontrol
yang demikian itu, mereka akan selalu bersikap hati-hati dalam segala
perilakunya. Tanpa kecuali tentunya dalam hubungannya dengan segala aktivitas
bisnis.[9]
Di antara ajaran kearifan lokal yang
turut memacu orang-orang Minang bekerja keras dan berani merantau ke negeri
orang, antara lain sebagaimana yang tersirat dari potongan pantun berikut ini:
“Karatau madang dahulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, di rumah
paguno balun.”[10] Makna ajaran pada
dasarnya memotivasi agar pemuda yang masih lajang hendaknya merantau keluar
kampung karena didaerahnya sendiri mereka belum diperlukan. Setelah sukses di
rantau, menurut penjelasan Basyaruddin, orang minang diminta partisipanya untuk
membangun kampung halamanya, apakah itu membangun di tingkat nagari
(kelurahan), atau jorong (RW), atau dusun (RT) sesuai kebutuhan. Nampaknya,
antara lain, nilai ajaran inilah yang telah turut membius orang Minang untuk
bekerja keras di manapun mereka berada, terutama yang dirantau orang.
Bertolak dari uraian di atas,
nampaknya nilai-nilai agama dan kearifan lokal telah ber-simbiose
mutualistis dalam kurun waktu yang sedemikian lama yang pada akhirnya
dijadikan panduan dalam kehidupan dua etnis. Bagaimana cara mereka melakukan
bisnis, rasanya tidak bisa lepas dari imbas kedua nilai tersebut.[11]
“Cultural research literature
sheds light on the ethnic dynamics within the community by providing different
ways of interpreting coping actions to the housing recovery process, that
emphasize the importance of environmental assessments within transactional
stress theory, and show how vulnerabilities are increased when power is
concentrated within the purview of one ethnic group (Germain 1991).”[12]
Dalam kehidupan sehari-hari, kita
akan menyaksikan begitu banyak orang yang bekerja. Dalam melakukan suatu
kegiatan kerja, berarti seseorang melakukan suatu kegiatan (activity).[13] Bekerja merupakan
kewajiban setiap Muslim. Dengan berkerja seorang Muslim akan dapat
mengekspresikan dirinya sebagai manusia, makhluk ciptaan tuhan yang paling
sempurna di dunia. Setiap pekerjaan yang baik yang dilakukan karena Allah sama
halnya dengan melakukan Jihad fi sabililah. Jihad memerlukan motivasi,
sedangkan motivasi memerlukan pandangan hidup yang jelas dalam memandang
sesuatu. Itulah yang dimaksud dengan etos dan etos kerja seorang Muslim harus
selalu dilandasi Al-qur’an dan Hadist.
Karakteristik etos kerja yang Islami
digali dan dirumuskan berdasarkan konsep iman sebagai fondasi yang utama.
Secara normatif mestinya Islam mampu menjadi sumber motivasi yang kuat dalam
mewujudkan etos kerja, di samping memandang penting semua bentuk kerja yang
produktif.[14]
Setiap aktivitas bisnis yang terkait
dengan produktif. Kerja yang produktif membutuhkan etos kerja yang baik.
Apalagi dalam kondisi sosial yang berubah dengan cepat yang menjadikan materi
sebagai parameter keberhasilanya sehingga dapat mengikis landasan moral ataupun
nilai-nilai agama Terlebih lagi dengan pertumbuhan dan penyebaran sikap
individualistik (ananiyah) yang semakin luas ditandai dengan sikap
mementingkan diri sendiri dan lebih mengutamakan hasil dari pada proses.
Selain itu, agama juga menghadapi
tantangan globalisme yang pada hakikatnya merupakan neoliberalisme sehingga
semakin menyulitkan penerapan agama sebagai referensi utama bagi masyarakat
yang hidup di penerapan agama sebagai referensi utama bagi masyarakat yang
hidup di lingkungan yang kian kompleks.
Untuk menghadapi tantangan itu,
diperlukan suatu penguatan etos kerja yang berlandaskan nilai-nilai Islam karena
Islam memandang kerja sebagai kodrat hidup manusia untuk meraih kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat. Kerja merupakan juga jalan utama mendekatkan diri
kepada Allah sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman yang mendasar dalam
menghadapi perkembangan zaman yang semakin menantang dan maju.
Dengan berlandaskan pada nilai-nilai
moral dan agama yang kokoh diharapakan etos kerja akan semakin termotivasi
dengan kuat dan terkendali. Dengan etos kerja yang demikian itu diharapkan
diperoleh hasil yang maksimal dan berkeseimbangan antara kepentingan dunia dan
ukhrawi, antara kepentingan individu dan masyarakat (orang lain).[15]
Membincangkan tentang
kewirausahaan (entrepreneurship) di kalangan masyarakat (Muslim), tidak
jarang akan muncul stigma klise yang berkonotasi negatif yakni kurang maju. Hal
itu wajar karena apabila diletakkan dalam tataran empiric sangat jelas,
sebagaimana kondisi ekonomi negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim.
Gambaran umum di wilayah-wilayah ini, baik yang terdapat dikawasan Afrika
maupun Asia, akan menunjukkan lemahnya penguasaan ekonomi masyarakat Islam.
Dengan demikian, persepsi steriotipikal tentang masyarakat kawasan tersebut
adalah rendahnya gairah kegiatan ekonomi, rendahnya kualitas kapitalisme, jika
yang terakhir ini dapat dijadikan parameter dari keberhasilan sebuah etos
entrepreneurship. Melimpahnya sumber daya alam (natural resources) yang
ada di kawasan-kawasan tersebut, serta bagaiman masyarakat setempat
memperlakukan atau memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki, justru akan
semakin menunjukan lemahnya etos kewirausahaan dikalangan masyarakat
muslim.[16] Hal ini diperkuat oleh
sinyal elemen yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini
sedang menderita kelemahan etos kerja. Sebuah pembahasan dalam Reader’s
Digest, sebuah majalah populer konservatif dengan oplah terbesar di muka
bumi, mengatakan bahwa Indonesia tidak akan dapat menjadi negara maju dalam
waktu dekat ini karena “Indonesia has lousy work ethic and serious
corruption” (Indonesia mempunyai etika kerja yang cacat dan korupsi yang
gawat).[17]
Max
Weber, sosiolog dan political economist terkemuka asal Jerman,
berpendapat tidak seperti Protestan, khususnya dari sekte calvinis puritan,
Islam tidak mempunyai afinitas teologis dengan pengembangan kapitalisme.[18] Bahkan, seperti dikutip
oleh Taufik Abdullah, meskipun dipercaya sebagai agama yang menganut sistem
teologi yang “monoteistis universalistis”, Islam dianggap sebagai agama kelas prajurit,
mempunyai kecenderungan pada kepentingan feudal, berorientasi pada prestise
sosial, bersifat sultanistis, dan bersifat patrimonial birokratif, serta tidak
mempunyai prasyarat rohaniah bagi pertumbuhan kapitalisme.[19] Masih menurut Taufik
Abdullah, weber percaya bahwa ajaran Islam mempunyai sikap anti akal dan sangat
menentang pengetahuan, terutama pengetahuan teknologi.[20]
Alasan
kuat Weber untuk sampai pada kesimpulan ini adalah praktik-praktik ekonomi
kalangan Islam yang tidak mendukung proses pertumbuhan kapitalisme secara
keseluruhan. Demikian pula praktik-praktik sufistik Islam yang pada umunya
mengesankan sikap “anti dunia atau melupakan dunia” dijadikan dasar kesimpulan
di atas. Lebih lanjut, Weber juga percaya bahwa kalangan Islam berbeda dengan
agama Prostestan tidak memiliki sikap sederhana, hemat, tekun atau
berperhitungan dalam seluruh aktivitas ekonomi. Singkat kata, mereka tidak
mempunyai semangat beruf (calling/panggilan ilahi) dan asketis
yang mempunyai afinitas dengan pertumbuhan kapitalisme.[21]
Dengan
demikian, masih seputar pendapat Weber seperti apa yang dinukil Amin Abdullah,
Weber, pernah mempertanyakan dengan nada sisnis bahwa agama-agama seperti
Islam, Katolik, dan Budha adalah agama-agama yang tidak mendukung proses
produksi, atau munculnya kapitalisme awal, karena agama-agama ini merupakan
agama yang menyebarkan paham asketik dan hidup membiara, serta agama prajurit,
bukan agama kapital.[22]
Tesis
weber itu kurang bisa dipertanggungjawabkan secara realitas, dan bahkan
mendapatkan sanggahan dari berbagai peneliti yang ingin melihat relasi antara
agama dan etos kerja. Ketidak akuratan kesimpulan Weber ditenggarai karena ia
kurang serius dan komprehensif mempelajari Islam, termasuk agama yang lain. Di
samping juga, Weber bukan saja muncul sebagai anak Eropa yang kagum atas
sejarah peradabannya, tetapi ia juga pengikut kecenderungan intelektual dari
masa awal orientalisme yang cenderung bisa melihat Islam.[23]
Antitesis
dari kalangan Islam atas tesis Weber, antara lain dibuktikan oleh Mohammad
Sobary yang bergerak disektor informal. Penelitian Sobary ini berlangsung di
salah satu masyarakat di Jawa Barat yang kemudian yang menjadi tesis masternya
di Monash University, 1995. Menurut Sobary,[24] dalam masyarakat
senantiasa terjadi polarisasi sehingga terdapat masyarakat pedesaan (asli) dan
urban (pendatang).
Walaupun
demikian, harus diakui secara jujur bahwa etos kerja tidak saja termotivasi
oleh ajaran agama tertentu, karena secara faktual juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang lain, seperti letak geografis, ras, budaya, psikologis, dan
lain sebagainya. Pengaruh berbagai faktor ini bisa disimpulkan dari tulisan Djamaludin
Ancok dan Fuat Nashori Suroso,[25] yang berjudul Teori
Kebutuhan Berprestasi Versi Al-Qur’an.
Dalam
kehidupan sehari-hari, kita akan menyaksikan begitu banyak orang yang bekerja.
Dalam melakukan suatu kegiatan kerja, berarti seseorang melakukan suatu
kegiatan (activity). Akan tetapi, tidak semua aktivitas manusia dapat
dikategorikan sebagai bentuk pekerjaan karena di dalam makna pekerjaan
terkandung dua aspek yang harus dipenuhi secara nalar, yaitu sebagai berikut.
Aktivitasnya dilakukan karena ada
dorongan yang untuk mewujudkan sesuatu sehingga tumbuh rasa tanggung jawab yang
besar untuk menghasilkan karya atau produk yang berkualitas. Bekerja bukan
sekedar mencari uang. Namun merupakan suatu ibadah karena merasa ada panggilan
untuk memperoleh ridho Allah. Karena itu, mustahil seorang muslim yang mengaku
dirinya sebagai wakil Allah mengabaikan makna keterpanggilannya untuk bekerja
dengan sempurna.[26]
Apa yang dilakukan tersebut
dilakukan karena kesengajaan, sesuatu yang direncanakan. Oleh karenanya,
terkandung di dalamnya suatu gairah (semangat) untuk mengerahkan seluruh
potensi yang dimiikinya sehingga apa yang dikerjakannya benar-benar memberikan
kepuasan dan manfaat. Apa yang dilakukan memiliki alasan-alasan untuk mencapai
arah dan tujuan yang luhur, yang secara dinamis memberikan makna bagi diri dan
lingkungannya sebagaimana misi dirinya yang harus menjadi rahmat bagi alam
semesta.[27]
Etos yang berasal dari kata Yunani,
dapat diartikan sebagai sesuatu yang diyakini, cara berbuat, sikap serta
persepsi terhadap nilai bekerja. Dari kata ini lahirlah apa yang dimaksud
dengan “ethic” yaitu, pedoman, moral, dan perilaku, atau dikenal pula
etiket yang artinya cara bersopan santun. Dengan demikian, kata etik ini
dikenal istilah etika bisnis yaitu cara atau pedoman perilaku dalam menjalankan
suatu usaha dan sebagainya.[28]
Etos yang juga mempunyai makna nilai
moral adalah suatu pandangan batin yang bersifat mandarah daging. Seseorang
akan merasakan bahwa hanya dengan menghasilkan pekerjaan yang terbaik, bahkan
sempurna, nilai-nilai Islam diyakininya dapat diwujudkan. Oleh karenanya, etos
kerja bukan hanya kepribadian atau sikap, melainkan lebih mendalam lagi. Ia adalah
martabat, harga diri, dan jati diri seseorang.[29]
Etos adalah aspek evaluative yang
bersifat menilai.[30] Soerjono Soekanto
mengartikan etos antara lain:
·
Nilai-nilai dan ide-ide
dari suatu kebudayaan
Adapun kerja merupakan suatu kegiatan
atau aktivitas yang memiliki tujuan dan usaha yang dilakukan guna membuat
aktivitas tersebut bermanfaat. Pengertian kerja biasanya berhubungan dengan
kegiatan seseorang untuk memperoleh penghasilan, baik materi maupun non-materi.
Etos
kerja menurut Mochtar Buchori adalah sikap dan pandangan terhadap kerja,
kebiasaan kerja yang dimiliki seseorang, suatu kelompok manusia atau suatu
bangsa.[32] Etos kerja adalah sifat,
watak dan kualitas kehidupan batin manusia, moral dan gaya estetik serta
suasana batin mereka. Ia merupakan sifat mendasar terhadap diri dan dunia
mereka yang direfleksikan dalam dunia nyata.[33]
Dari
Penjelasan di atas, sekalipun beragam, tetapi dapat dipahami bahwa etos kerja
merupakan karakter dan kebiasaan berkenaan dengan kerja yang terpancar dari
sikap hidup manusia yang mendasar terhadapnya. Selanjutnya dapat dipahami bahwa
timbulnya kerja antara lain tidak lepas karena dorongan sikap yang mendasar
itu.[34]
“Indeed, being professional means that workers are
expected to assume appropriate work identities prescribed by an organisation
(Fournier 1999). Professionalism, Fournier argues, has turned into a
disciplinary mechanism that shapes a worker’s conduct. The professional worker
is autonomous, responsible and competent, and can be controlled from a distance
through internalising these traits (Fournier 1999: 284–290). In other words,
professionalism has become a defining quality of an ideal worker. Using
professionalism as a norm of evaluation, Filipino workers tended to point out
their local subordinates’ need for constant supervision, lack of competence and
discipline and excessive demands. Leila, 25, a Filipino who set up a
multinational company in Delhi, narrated an incident and pointed out what she
saw as the locals’ lack of initiative and sense of responsibility.”[35]
Ciri-ciri orang yang menghayati etos kerja
akan tampak dalam sikap dan tingkah lakunya, di antaranya[36] sebagai berikut.
a) Mereka
kecanduan terhadap waktu
Salah
satu esensi dan hakikat dari etos kerja adalah cara seseorang menghayati,
memahami, dan merasakan betapa berharganya waktu. Dia sadar waktu adalah netral
dan terus merayap dari detik ke detik dan dia pun sadar bahwa sedetik yang lalu
tak akan pernah kembali kepadanya.
Salah
satu kompetensi moral yang dimiliki seorang yang berbudaya kerja Islami itu
adalah nilai keikhlasan. Karena ikhlas merupakan bentuk dari cinta, bentuk
kasih saying dan pelayanan tanpa ikatan.
c) Mereka
kecanduan kejujuran
Pribadi
muslim merupakan tipe manusia yang terkena kecanduan kejujuran, dalam keadaan
apapun, dia merasa bergantung pada kejujuran. Dia pun bergantung pada amal
saleh. Sekali dia berbuat jujur atau berbuat amal-amal saleh yang prestatif,
dirinya bagaikan ketagihan untuk mengulanginya lagi. Dia terpenjara dalam
cintanya kepada Allah. Tidak ada kebebasan yang dia nikmati kecuali dalam
pelayanannya kepada Allah.
Yang
dimaksud dengan commitment (dari bahasa Latin: committere, to
connect, entrust-the state of being obligated or emotionally impelled)
adalah keyakinan yang mengikat (aqad) sedemikian kukuhnya sehingga membelenggu
seluruh hati nuraninya dan kemudian menggerakkan perilaku menuju arah tertentu
yang diyakininya (i’tiqad).
e) Istiqamah,
Kuat Pendirian
Pribadi
Muslim yang profesional dan berakhlak memiliki sikap konsisten, yaitu kemampuan
untuk bersikap taat asas, pantang menyerah, dan mampu mempertahankan prinsip
serta komitmennya walau harus berhadapan dengan risiko yang membahayakan
dirinya. Mereka mampu mengendalikan diri dan mengelola emosinya secara efektif.[39]
Bisnis
adalah pertukaran barang jasa, atau uang yang saling menguntungkan atau
memberikan manfaat. Menurut arti dasarnya, bisnis memiliki makna sebagai “the
buying and selling of goods and services.” Bisnis berlangsung karena adanya
kebergantungan antara individu, adanya peluang internasional, usaha untuk
mempertahankan dan meningkatkan standar hidup, dan lain sebagainya.[40] Bisnis juga dipahami
dengan suatu kegiatan usaha individu (privat) yang terorganisasi atau
melembaga, untuk menghasilkan atau menjual barang atau jasa guna mendapatkan
keuntungan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.[41] Bisnis dilakukan dengan
tujuan untuk mendapatkan keuntungan (profit), memepertahankan
kelangsungan hidup perusahaan, pertumbuhan sosial, dan tanggung jawab sosial.
Dari sekian banyak tujuan yang ada dalam bisnis, profit memegang peranan
yang sangat berarti dan banyak dijadikan alasan tunggal di dalam memulai
bisnis.[42]
Seseorang yang melakukan suatu bisnis dapat menghasilkan
suatu keuntungan jika ia mengambil risiko, dengan memasuki suatu pasar baru dan
siap menghadapi persaingan dengan bisnis-bisnis lainya. Organisasi bisnis yang mengevaluasi
kebutuhan dan permintaan konsumen, kemudian bergerak secara efektif masuk ke
dalam suatu pasar, dapat menghasilkan keuntungan yang substansial. Adapun
kegagalan bisnis, sebagian besar adalah karena kesalahan atau kekurangan
manajemen atas manusia, teknologi, bahan baku, dan modal. Perencanaan,
pengorganisasian, pengendalian, pengarahan, dan manajemen karyawan yang efisien
menghasilkan keuntungan yang memuaskan. Namun demikian, selain efektivitas
manajerial, tingkat keuntungan bisnis sangatlah bergantung pada besarnya
industri, besarnya bisnis, dan lokasi bisnis.[43]
Islam
mewajibkan setiap muslim, khususnya yang memiliki tanggungan, untuk “bekerja”.
Bekerja merupakan salah satu pokok yang memungkinkan manusia memiliki harta
kekayaan. Untuk memungkinkan manusia berusaha mencari nafkah, Allah SWT
melapangkan bumi serta menyediakan berbagai fasilitas yang dapat dimanfaatkan
manusia untuk mencari rizki. Hal ini diterangkan dalam Al-Qur’an:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا
وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
Artinya: “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi
kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari
rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. (QS.
Al-Mulk(67) :15)
Pengembangan
bisnis yang memerlukan modal dalam Islam harus berorientasi syariah sebagai
pengendali agar bisnis itu tetap berada dijalur yang benar sesuai dengan ajaran
Islam.[44] Dengan kendali syariat, aktivitas
bisnis diharapkan bisa mencapai 4 (empat) hal utama yaitu sebagai berikut.[45]
Tujuan perusahaan tidak
hanya untuk mencari profit (qimah madiyah atau nilai materi)
setinggi-tingginya, tetapi juga harus dapat memperoleh dan memberikan benefit
(keuntungan atau manfaat) non materi kepada internal organisasi perusahaan dan
eksternal (lingkungan), seperti terciptanya suasana persaudaraan, kepedulian
sosial, dan sebagainya.
Jika profit materi dan
benefit non-materi telah diraih sesuai target, perusahaan akan mengupayakan
pertumbuhan atau kenaikan terus menerus dari setiap profit dan benefitnya itu.
Hasil perusahaan akan terus diupayakan agar tumbuh meningkat setiap tahunnya.
Upaya pertumbuhan itu tentu dijalankan dalam koridor syariat. Misalnya, dalam
meningkatkan jumlah produksi seiring dengan perluasan pasar, peningkatan
inovasi sehingga bisa menghasilkan produk baru dan sebagainya.
Belum sempurna orientasi
manajemen suatu perusahaan bila hanya berhenti pada pencapaian target hasil dan
pertumbuhan. Oleh karena itu, perlu diupayakan terus agar pertumbuhan target
hasil yang telah diraih dapat dijaga keberlangsungannya dalam kurun waktu yang
cukup lama.
Faktor keberkahan untuk
menggapai ridha Allah SWT merupakan puncak kebahagiaan hidup manusia muslim.
Bila ini tercapai, menandakan terpenuhinya dua syarat diterimanya amal manusia,
yakni adanya niat ikhlas dan cara yang sesuai dengan tuntutan syariat.
Selanjutnya diskursus ini
mencoba untuk mentengahkan bagaimanakah model dan institusi yang dapat
dijadikan sarana untuk membangun etos bisnis di Indonesia dengan bertolak dari
nilai-nilai fundamental yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia. Dengan tujuan
agar kemakmuran dan kesejahteraan dapat terwujud melalui pembangunan ekonomi
berbasis syariah yang berkelanjutan secara terprogram. Paling tidak ada tempat
model dan institusi, yakni komunitas ulama, komunitas pondok pesantren, lembaga
pendidikan formal, dan keluarga.[47]
Di
kalangan komunitas muslim Indonesia, bagaimanapun peran ulama sangat strategis
sekali, melebihi peran pemimpin formal sekalipun. Dalam prespektif lokal, di
Jawa Barat mereka disebut ajengan, sedangkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur
disebut Kyai. Sebuah sebutan atau gelar kehormatan yang diberikan masyarakat
kepada seseorang ahli agama Islam yang pada umumnya memimpin pondok pesantren
dan mengajarkan kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.[48] Di kalangan masyarakat Madura, gelar untuk
ulama atau kyai akrab disebut “kyae” yang pada umumnya memimpin sebuah pondok
pesantern. Namun demikian, dapat pula seseorang di Madura mendapat sebutan
“kyae” karena garis keturunan.[49]
Indonesia,
sebagaimana Sudan, yang mayoritas Muslim, secara lebih konkret bagaimana peran
ulama dalam mengembangkan ekonomi Islam, antara lain dapat disimpulkan dari
pendapat Antonio.[50] Pertama, pengawasan.
Pengawasan di Indonesia dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan Dewan
Syariah Nasional (DSN). DSN, lembaga otonom di bawah MUI, fungsi utamanya
adalah mengawasi bank syariah Islam, selain juga memberi teguran kepada lembaga
keuangan syariah apabila terjadi penyimpangan dari garis panduan (guidlines)
yang telah ditetapkan.
Kedua,
sosialisasi. Menurut Antonio, paling tidak ada empat peran yang dapat dilakukan
oleh ulama, yakni menjelaskan kepada masyarakat bahwa perbankan syariah pada
dasarnya adalah penerapan fiqih maaliyah, mengembalikan masyarakat pada
fitrah alam dan fitrah usaha yang sebelumnya telah mengikuti syariah, terutama
dalam pertanian, perdagangan, investasi, dan perkebunan, menyarankan kepada
para pengusaha agar mengikuti langkah yang ditempuh oleh bank syariah dalam
berbagai hasil dan berbagai risiko dan membantu menyelamatkan perekonomian
bangsa melalui pengembangan sosialisasi perbankan syariah.
Ketiga,
pengembangan produk. Dalam kaitan dengan pengembangan produk, paling tidak
ulama dapat berperan menyerap aspirasi dan kebutuhan finansial umat,
selanjutnya dirumuskan bersama manajemen bank syariah. Selain juga ikut
mensosialisasikan hasil rumusan produk tersebut kepada umat. Bertolak dari
uraian di atas dapat dipahami bahwa bagaimanapun peran ulama sangatlah
strategis sekali dalam membangun etos bisnis sebagai prakondisi membangun
ekonomi Islam sebagaimana pengalaman di Sudan. Sebagaimanapun juga peran pemuka
gereja di Amerika untuk memajukan pertanian yang dapat mendorong kemajuan
ekonomi mereka.[51]
Di
antara peran pondok pesantren (PP) salafi, Pesantren Sidogiri, termasuk
diantara sederetan pesantren tua di Jawa Timur, atau mungkin di tanah air
Indonesia yang berdiri sejak tahun 1745 M dan telah lebih dari 259 tahun
berkiprah dalam pendidikan.[52]
Sampai
dewasa ini, terdapat tiga institusi ekonomi di lingkungan Pesantren Sidogiri
yang dinilai sedemikian maju, yakni Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren),
Koperasi Baitul Maal wat Tamwil Maslahah lil Ummah (BMT MMU), dan Koperasi
Usaha Gabungan Terpadu (UGT). Diakui, bahwasanya pada tahun 2002, Koperasi
BMT-MMU ini memperoleh predikat BMT peringkat kedua tingkat nasional dari segi
total asset yang dimiliki. Padahal kala itu, asset lembaga ini dapat dikatakan
relatif kecil, yakni Rp. 3,5 miliar.[53] Baru pada tahun 2006,
koperasi ini telah meraih penghargaan tingkat nasional di Pekalongan dan juara
kesatu kategori simpan pinjam pola syariah di Nganjuk.[54] Tidak hanya itu, lembaga
keuangan syariah yang dibangun untuk menghilangkan praktik rente itu, setelah
13 tahun berkiprah terus melakukan ekspansi pengembangan secara progresif. Hal
ini terbukti, target memberikan layanan di setiap prasal tradisional di
kabupaten dan kota Pasuruan telah terealisasi sejak tahun 2009 dengan total
kantor layanan sebanyak 24 outlet. Bahkan, menjelang akhir tahun 2009 lalu,
BMT-MMU telah melakukan perubahan AD/ART yang semula di bawah binaan kabupaten
menjadi binaan propinsi dengan nomer perubahan SKPAD Nomor
508.1/PAD/BH/XVI/66/103/2009.[55]
Akhirnya,
dengan belajar pada pengalaman Pesantren Sidogiri atas, dapat disimpulkan bahwa
ternyata pesantren salafpun mampu ikut berpartisipasi dalam membangun
kemandirian ekonomi umat yang berbasis syariah. Kendati lahir di daerah
kecil,tetapi kiprahnya menggaung di tingkat nasional karena kinerjanya yang
patut diapresiasi selama ini dan patut dicontoh oleh pesantern lain di tanah
air.
Peran
sekolah, selaku institusi pendidikan formal jelas mempunyai peran yang sangat
bermakna untuk membangun etos bisnis peserta didik agar kelak mereka mempunyai
jiwa mandiri dalam ekonomi. Oleh sebab itu, penyusunan sebuah kurikulum secara
khusus berbagai materi pembelajaran tentu sangat dibutuhkan yang penyusunannya
melibatkan para apakar yang kopeten, beserta kalangan stakeholders
selaku pengguna lulusan.
Dengan
maraknya pembukaan jurusan ekonomi Islam di bebagai perguruan tinggi umum
maupun di perguruan tinggi agama di tanah air yang mengajarkan berbagai mata
kuliah yang berkaitan dengan ekonomi berbasis syariah patut diapresiasi oleh
semua kalangan. Oleh karena itu adanya perubahan nama fakultas ekonomi menjadi
fakultas ekonomi dan bisnis pada dasarnya mengidentifikasi bahwa mahasiswa
belumlah cukup hanya mendapat materi yang berkaitan dengan masalaah ekonomi
yang sangat bersifat teoritik, akademik dan makro, namun juga perlu dibekali
dengan pengetahuan sektor riil di dunia nyata yang justru akan banyak dihadapi
oleh mereka.
Adanya
magang diperusahaan dengan berbagai bentuknya dan pengucuran dana hibah dari
beberapa koporat saat ini dapat menstimulasi mahasiswa agar mereka belajar
berbisnis sejak di bangku kuliah patut pula mendapat apresiasi. Dengan terus
merancang bola pengembanganya agar dana stimulus itu benar-benar memberi
manfaat kepada mahasiswa untuk mengembangkan kelimuan mereka, sekaligus
membangun sense mereka di dunia bisnis.[56]
Dalam
dunia pendidikan diakui bahwasanya peran keluarga selaku lembaga pendidikan
informal sangatlah diakui peran dan eksistensinya karena di dalamnya banyak
terbentang waktu sehingga kesempatan mananamkan nilai-nilai kebajikan lebih
leluasa untuk dilakukan. Dalam keluarga, pada dasarnya yang bertindak sebagai
pengajar, sekaligus pendidik pertama dan utama adalah kedua orang tua.[57] Dalam institusi inilah sejatinya anak banyak
belajar praktik kehidupan yang sebenarnya. Jika dalam usaha menggiatkan usaha
bisnis (home industry) misalnya, maka berarti anak hidup di lingkungan
keluarga bisnis. Kondisi keluarga semacam ini, langsung maupun tidak langsung
berkecenderungan akan motivasi anak untuk meniru dan melakukan bisnis kelak
dikemudian hari setelah waktunya mandiri di tengah masyarakat.
Dikatakan
bahwa kemajuan ekonomi bangsa Jepang yang merajai dunia dalam banyak hal yang
sekarang disusul bangsa Cina, tidak lepas karena menggalakkan industri rumah
tangga mereka. Dengan demikian, pemerintah mereka banyak memberi kesempatan
kepada masyarakat untuk mengasah diri dan berpikir kreatif dalam membangun
ekonomi rumah tangganya sendiri, sehingga bisa hidup mandiri dan pada giliranya
akan ikut menunjang perekonomian negara secara makro. Kenyataan ini semakin
meyakinkan bangsa lain, tanpa kecuali kita bangsa Indonesia untuk bertekad
mendorong tumbuhnya atmosfer bisnis di kalangan rumah tangga di tanah air.
Hanya saja, kiranya hal ini perlu dukungan pemerintah dalam bentuk stimulus
pendanaan, termasuk dari kalangan industri besar dan dunia perguruan tinggi
untuk melakukan bimbingan dan pendampingan.
Dalam
kaitan dengan peran keluarga ini antara lain kita bisa mengambil ibrah dari
kalangan etnis Cina yang terbiasa mempertahankan kultur mereka menanamkan
nilai-nilai filosofi bisnis kepada anak-anak mereka di dalam keluarga
masing-masing. Tidaklah cukup hanya sebatas penanaman filosofi, tetapi mereka
telah terbiasa pula melibatkan anak-anak mereka terjun ke dunia bisnis yang
dibangun dalam internal keluarga. Oleh sebab itu, hampir dapat dipastikan bahwa
para pebisnis sukses pada umumnya adalah mereka yang lahir dan dibesarkan dari
keluarga dari kalangan pelaku bisnis sehingga sedikit banyak akan banyak
memberi inspirasi dan motivasi kepada para anggota keluarga masing-masing.
Tentu
saja keluarga dalam kapasitasnya sebagai kawah candradimuka bisa dijadikan
sarana menanamkan nilai-nilai bisnis Islami tanpa melupakan nilai-nilai
kearifan lokal (local wisdom) yang mungkin telah lama dipraktikkan oleh
leluhur mereka sehingga sukses di dalam dunia bisnis. Etnis Madura dan
Minangabau mau bekerja keras di rantau orang tidak lepas karena terimbas oleh
ajaran agama mereka yang Islam, termasuk oleh ajaran lokal di lingkungan mereka
yang telah lama berdialektika.[58]
Kita dapat memahami bahwa
dalam membangun etos bisnis di Indonesia memerlukan sebuah tindakan terprogram,
terpadu dan berkelanjutan. Dalam kehidupan bermasyarakat, dikenal nilai-nilai
dan norma-norma etis. Begitu juga pada
dunia bisnis pada umumnya. Bisnis perlu mengenal dan memperhatikan etika. Dalam
dunia persaingan yang ketat, bisnis yang berhasil adalah bisnis yang
memprhatikan nilai-nilai moral. Jadi antara etika dan bisnis ada relevasinya. Adanya
persaingan yang ketat antara pelaku usaha dan adanya prinsip ekonomi untuk
memperoleh kaentungan sebesar-besarnya, membuat para pelaku bisnis bertindak
tidak jujur.
Adapun
etika bisnis perusahaan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk
membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta
mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, dimana
diperlukan suatu landasan yang kokoh untuk mencapai itu semua. Dan biasanya
dimulai dari perencanaan strategis, organisasi yang baik, sistem prosedur yang
transparan didukung oleh budaya perusahaan yang handal serta etika perusahaan
yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen.
Dalam menggunakan etos
bisnis yang berlandaskan ajaran agama Islam maupun kearifan lokal diharapkan
pembangunan ekonomi Islam di Indonesia terus mengalami pertumbuhan. Dengan
semakin kuatnya etos bisnis yang berlandaskan ajaran agama Islam maupun
kearifan lokal akan menghasilkan pelaku bisnis yang ber etika secara Islami
dalam berbisnis.
Perlu adanya pendidikan atau penyuluhan tentang etika bisnis kapada para
pelaku bisnis. Demikian pula penyuluhan tentang kehidupan berbisnis yang
berlandaskan etika yang merupakan keadilan ekonomi, serta hasil dari penerapan
keadilan, yaitu terwujudnya keadilan sosial.
Abdullah, M.
Amin, “Agama dan Kesalehan Sosial Pengusaha Muslim”, dalam Zuly Qodir,
-------, Agama
& Etos Kerja Dagang, Solo: Pondok Edukasi, 2002.
Abdullah,
Taufik (ed), Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta:
LP3ES, 1979.
Ahmad,
Mustaq, Etika Bisnis dalam Islam, ter. Samson Rahman, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2001.
Ancok,
Djamaludin, dan Fuat Nashori Suroso, “Teori Kebutuhan Berprestasi Versi Al-Qur’an” dalam Djamaludin Ancok
dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1994.
Anoraga,
Pandji, Manajemen Bisnis, Jakarta: Rineka Cipta & Sekolah Tinggi
Ilmu Ekonomi (STIE) Bank BPD Jateng, 1997.
Antonio,
Muhammad Syafii, Bank Syariah: Wacana Ulama & Cendekiawan, Jakarta:
Bank Indonesia & Tazkia Institute, 1999.
Arifin,
Imron, Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, Malang:
Kalimasada Press, 1993.
Asifudin,
Ahmat Janan, Etos Kerja Islami, Surakarta: Muhammadiyah University
Press, 2004.
Bakhri, Mokh.
Syaiful, Kebangkitan Ekonomi Syariah di Pesantren: Belajar dari Pengalaman
Sidogiri, Pasuruan: Cipta Pustaka Utama, 2004.
Buchori,
Mochtar, Penelitian Pendidikan dan Pendidikan Islam di Indonesia,
Jakarta: IKIP Muhammadiyah, 2002.
Dhofir,
Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,
Jakarta: LP3ES, 1982.
Djakfar,
Muhammad, Etika Bisnis Islami Tataran Teoritis dan Praktis, Malang: UIN-Maliki
Press, 2008.
-------, Anatomi
Perilaku Bisnis Dialektika Etika dengan Realitas, Malang: UIN-Maliki Press,
2009.
-------, Hukum
Bisnis: Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah,
Yogyakarta: PT LKIS Printing Cemerlang, 2009.
-------, Etos
Bisnis Etnis Madura Perantauan di Kota Malang Memahami Dialektika Agama dengan
Kearifan Lokal, 2011, Hasil Penelitian.
-------, Etika
Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan lokal, Malang: UIN-Maliki
Press, 2019.
Effendy,
Bahtiar, “Pertumbuhan Etos Kerja Kewirausahaan dan Etika Bisnis di Kalangan
Muslim”, dalam Bahtiar Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme
Keagamaan, Yogyakarta: Galang Press, 2001. Faidul Qadir Juz V/520.
Fauzia, Ika Yunia, Etika Bisnis dalam
Islam, Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, 2014.
Kim B. Galindo, Zohreh R. Eslami, and Hassan Bashir,
Culture’s Influence on Social Network Vulnerabilities for Ethnic Minorities in
Rural Disaster Events,
Galindo et al. Journal of International Humanitarian Action (2018) 3:17 https://doi.org/10.1186/s41018-018-0047-2, Hlm 13
Kraar, Louis,
“The New Powers of Asia”, Reader’s Digest, Edisi Asia (Singapura,
Hongkong, Tokyo), vol. 52, 309 (Desember 1988).
Leman, The
Best of Chinese Life Philisophies, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2007.
Lorenza,
Jazon A, Ethnic Moralities and Reciprocity: Towards an Ethic of South-South Relations,
Bandung: Journal of the Global South (2015) 2:7 DOI 10.1186/s40728-014-0006-2,
Hlm 6-7.
Majalah
MODAL, Nomor 10, edisi 1 Agustus 2003.
Mansurnoor,
Iik Arifin, Islam in Indonesian World, Ulama of Madura, Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1990.
Muhammad, Etika
Bisnis Islami, Yogyakarta: Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, 2004.
M.S. Amir, Adat
Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, Jakarta Pusat: PT Mutiara
Sumber Widya, 2001.
-------, Tanya
Jawab Adat Minangkabau Hubungan Mamak Rumah dengan Sumando, Jakarta Pusat:
PT Mutiara Sumber Widya, 2003.
Rahyono, FX, Kearifan Budaya dalam Kata,
Jakarta: Wedatama Widyasastra, 2009.
Rakhmat, Jalaluddin, “Teologi
Kemiskinan dan Pemiskinan Teologi”, dalam Jalaluddin Rakhmat, Renungan-Renungan
Sufistik, Jakarta: Penerbit Mizan, 1999.
Sobary, Mohammad, Kesalehan dan Tingkah
Laku Ekonomi, Yogyakarta: Penerbit Yayasan Bentang Budaya, 1995.
Soekanto, Soerjono, Kamus Sosiologi,
Jakarta: CV. Rajawali, 1983.
Tasmara, Toto, Membudayakan Etos Kerja
Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
-------, Etos Kerja Pribadi Muslim,
Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Turner, Bryan S., Agama dan Teori
Sosial, ter. Inyiak Ridwan Muzir, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
Weber, Max, Etika Protestan dan
Semangat Kapitalisme, ter. Yusup Priasudiarja, Jakarta: Pustaka Promethea,
2003.
[3]
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan lokal,
(Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 380
[4]
Muhammad Djakfar, Etos Bisnis Etnis Madura Perantauan di Kota Malang
Memahami Dialektika Agama dengan Kearifan Lokal, 2011, Hasil Penelitian
Tidak Dipublikasikan, 19
[5]
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan
lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 381
[7] M.S
Amir, Tanya Jawab Adat Minangkabau, (Jakarta Pusat:PT. Mutiara Suber
Widya, 2003), 7
[8] M.S,
Amir, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan hidup Orang Minang (Jakarta
Pusat: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), 98
[10] Hasil
wawancara dengan Basyaruddin, dan dalam Djakfar, Agama dan Perilaku Bisnis,
2006
[11]
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan
lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 382-383
[12] Kim B. Galindo, Zohreh R. Eslami, and Hassan Bashir,
Culture’s Influence on Social Network Vulnerabilities for Ethnic Minorities in
Rural Disaster Events, Galindo et al. Journal of International Humanitarian
Action (2018) 3:17
[13]
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis Islami: Tataran Toritis dan Praktis
(Malang: UIN-Malang Press, 2008), 125
[14]
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan
lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 93
[15]
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan
lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 94
[16] Bahtiar
Effendy, “Pertumbuhan Etos Kerja Kewirausahaan dan Etika Bisnis di Kalangan
Muslim” dalam Effendy, Masyarakat, 195
[17] Louis
Kraar, “The New Powers of Asia”, Reader’s Digest, edisi Asia
(Singapura, Hongkong, Tokyo), vol. 52, 309 (Desember 1988), 44
[18] Max
Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, ter. Yusup Priasudiarja
(Jakarta: Pustaka Promethea, 2003)
[19] Taufik
Abdullah, (ed), Agama, Etos Kerja dan Perkembangan ekonomi (Jakarta:
LP3ES, 1979), 19-20
[20] Ibid.,
21-22. Dengan tidak menafiikan realitas, di sekeliling kita memang masih ada,
bahkan masoih banyak umat Islam yang bersifat asketis, bersikap zuhud dalam
arti terlalu menyerah pada takdir. Menyikapi hal ini yang perlu diluruskan
bukanlah esensi ajaran Islamnya, tetapi bagaiman cara menyikapi dan menafsir
essensi atau substansi ajaran tersebut. Dalam hal ini lihat Jalaluddin Rakhmat,
“Teologi Kemiskinan dan Pemiskinan Teologi”, dalam Jalaluddin Rakhmat, Renungan-Renungan
Sufistik (Jakarta: Penerbit Mizan, 1999), 231-238
[21]
Effendy, Pertumbuha Etos, 197. Untuk uraian lebihlanjut, lihat Max
Weber, The Protestant Ethics and The Spirit of Capitalism. Selanjutnya,
Weber, sebagaiman dikutip Turner melihat tidak adanya jalan yang benar-benar
individualis dalam pencapaian penyelamatan dalam Islam, Yahudisme dan
Confusianisme. Dalam Islam, norma-norma yang berlaku dikalangan elit kesatria
sangat bersifat kolektif dan konformis. Dalam Yahudisme, status pariah umat
Yahudi yang berdiaspora menyebabkan maraknya ritualisme dan kelekatan dengan
praktik-praktik komunal. Hanya dalam
kriatinitaslah individualisme bisa tumbuh dan berkembang dalam lingkungan urban
Eropa abad tengah. Konsepsi barat terhadap individualisme cenderung menganggap
Puritanisme sebagai kancah penggodok otonomi individual dan sebagai latar
belakang individualisme kapitalis. Lihat Bryan S. Turner, Agama dan Teori
Sosial, ter. Inyiak Ridwan Muzir (Yogyakarta: IRCisoD, 2003), 270-271
[22] M. Amin
Abdullah, “Agama dan Kesalehan Sosial Penguasa Muslim”, dalam Zuly
Qodir, Agama dan Etos Kerja Dagang (Solo: Pondok Edukasi, 2002) x
[23]
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan
lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 97
[24]
Muhammad Sobary, Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonom (Yogyakarta: Penerbit
Yayasan Bentangan Budaya, 1995), 75
[25]
Djamaludin ancok dan Fuat Nashori Suroso, “Teori Kebutuhan Berprestasi Versi
Al-Qur’an” dalam Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi
Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), 84-87
[26]
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan
lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 100
[27] Toto
Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam (Jakarta: Gema Insani Press,
2000), 24
[28] Toto
Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,
1995), 25
[29] Toto
Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam (Jakarta: Gema Insani Press,
2000), 16
[30] Taufik
Abdullah,ed., Agama, Etos Kerja dan Pembangunan ekonomi, (Jakarta:
LP3ES, 1979),.3
[31]
Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), 174
[32] Mochtar
Buchori, Penelitian Pendidikan dan Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: IKIP Muhammadiyah, 2002),6
[33] Musa
Asy’arie, Islam, Etos Kerja, 33-34
[34] Ahmat
Janan Asifudin, Etos Kerja Islam, (Surakarta: Muhammadiyah University
Press, 2004), 27-28
[35] Jazon A
Lorenza, Ethnic Moralities and Reciprocity: Towards an Ethic of South-South Relations,
Bandung: Journal of the Global South (2015) 2:7 DOI 10.1186/s40728-014-0006-2,
Hlm 6-7
[36]
Tasmara, Membudayakan, 86
[37] Ibid.,
87
[38] Ibid.,
88
[39] Ibid.,
89
[40] Pandji
Anoraga, Manajemen Bisnis, (Jakarta: Rineka Cipta & Sekolah Tinggi
Ilmu Ekonomi (STIE) Bank BPD Jateng, 1997), 2; Muhammad, Etika Bisnis Islami,
(Yogyakarta: Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, 2004), 37
[41]
Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis: Membangun Wacana Integrasi Perundangan
Nasional dengan Syariah (Yogyakarta: PT LKIS Printing Cemerlang, 2009), 25;
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis Islami: Tataran Teoritis dan Praktis,
(Malang: UIN Maliki Press, 2008)
[42] Ika
Yunia Fauzia, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: PT Fajar Interpratama
Mandiri, 2014), 3-4
[43] Muhammad
Djakfar, Etika Bisnis Islami: Tataran Teoritis dan Praktis, (Malang: UIN
Malang Press, 2008), 15
[44] Yusanto
dan Widjayakusuma, Menggagas, 18-20
[45]
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan
lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 145-147
[46] Dalam
kaitan dengan keberkahan ini bandingkan dengan Ahmad, Etika, 63
[47]
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan
lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 383
[48]
Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta:
LPES, 1982)., 55. Lihat pula Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok
Pesantren Tebu Ireng (Malang: Kalimasada Press, 1993), 14
[49] Muhammad
Djakfar, Anatomi Perilaku Bisnis Dialektika Etika dengan Realitas (Malang: UIN-Malang Press, 2009), 133. Baca
pula Iik Arifin Mansurnoor, Islam in an Indonesian world: Ulama of Madura (Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1990), xix-xx
[50] Muhammad
Syafii Antonio, Bank Syariah: Wacana Ulama & Cendekiawan (Jakarta:
Bank Indonesia & Tazkia Institute, 1999), 283-289
[51]
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan
lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 385-386
[52] Dalam Bakhri,
Kebangkitan, 63
[53] Majalah
MODAL, Nomor 10, edisi 1 Agustus 2003
[54]
Bulletin BMT-MMU, edisi 02, Tahun 1 Syafar 1432 H, 7
[55] Dalam
Bulletin BMT-MMU, edisi 02, Tahun 1 Syafar 1432 H, 6
[56]
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan
lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 388
[57] Leman, The
Best of Chinese Life Philosophies (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007),
131. Baca pula Thomas Liem Tjoe, Rahasia Sukses Bisnis Etnis Tionghoa di
Indonesia (Yogyakarta: MedPress, 2007)
[58]
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan
lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 389-390
No comments:
Post a Comment