Sunday, March 15, 2020

Kearifan Lokal, Etos Kerja dan Pengembangan Bisnis di Indonesia


KEARIFAN LOKAL, ETOS KERJA DAN PENGEMBANGAN BISNIS DI INDONESIA

MAKALAH

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika Binis
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Muhammad Djakfar, SH., M.Ag 







Disusun oleh:
Ilham Muzaki
NIM: 17510024








UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
2019/2020



Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat, ridho dan karunia-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Kearifan Lokal, Etos Kerja dan Pengembangan Bisnis di Indonesia”
Selama penyusunan makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada: Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Djakfar, SH., M.Ag  Sebagai Dosen mata kuliah Etika Bisnis, Keluarga tercinta, serta Teman-teman dan berbagai pihak yang telah memberi masukan dan saran kepada penulis.
Dalam penyusunan makalah ini penulis telah berusaha sebaik-baiknya, namun penulis menyadari atas segala kekurangan itu, kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penyusunan makalah ini.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih atas segala bantuan dari semua pihak yang terlibat dalam penulisan Makalah ini. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Aamiin.








Malang, 15 Februari 2020



Penulis,
 
 







DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI 
BAB I PENDAHULUAN.. 1
A.    Latar Belakang. 1
B.    Rumusan Masalah. 2
C.    Tujuan Masalah. 2
BAB II PEMBAHASAN.. 3
A.    KEARIFAN LOKAL. 3
B.    ETOS KERJA.. 6
1.    Etos Kerja: Perbedaan Konseptual 7
2.    Pengertian Etos Kerja. 10
3.    Ciri-Ciri Etos Kerja Islami 12
C.    PENGEMBANGAN BISNIS DI INDONESIA.. 13
1.    Target Hasil: Profit Materi dan Benefit Non-materi 15
2.    Pertumbuhan, artinya Terus Meningkat 15
3.    Keberlangsungan, dalam Kurun Waktu Selama Mungkin. 15
4.    Keberkahan atau Keridhaan Allah. 15
D.    Membangun Etos Bisnis di Indonesia: Model dan Institusi 16
1.    Peran Sentral Ulama. 16
2.    Peran Pondok Pesantren: Belajar dari Pesantren Salafi 17
3.    Peran Lemabaga Pendidikan Formal 18
4.    Peran Keluarga. 19
BAB III PENUTUP. 21
A.    Kesimpulan. 21
B.    Saran. 21
DAFTAR PUSTAKA.. 22




BAB I

PENDAHULUAN


            Zaman Sekarang yang dikenal dengan sebutan era globalisasi yang didominasi oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi telah membawa perubahan besar terhadap kehidupan masyarakat dalam banyak segi. Perubahan itu membawa kemajuan yang begitu luar biasa, sekaligus menimbulkan kegelisahan di kalangan orang banyak. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi planet bumi ini kian menyempit, seakan-akan sekat antar daerah dan antar bangsa tidak lagi menjadikan penghalang untuk melakukan komunikasi dan mengakses informasi yang sangat cepat. Manusia zaman dahulu yang begitu gelap pengetahuannya tentang ruang angkasa, kini mulai terkuak lebar dengan bantuan kemampuan teknologi yang diciptakannya sendiri.[1]
            Dengan adanya para pebisnis baru di era ini, maka suatu hal penting bagi para pebisnis untuk mengetahui tentang Etika Bisnis. Tidak hanya mengetahui dan memahami tapi juga diperlukan adanya suatu Penerapan pada bisnisnya. Dengan begitu, para pebisnis tidak hanya berpacu pada profit oriented tapi juga memeperhatikan Etika dalam berbisnis, sehingga bisnis yang dijalankan dapat berjalan dengan baik.
             Akan tetapi, tidak semudah itu didalam Penerapan Etika Bisnis di Indonesia karena ada sebuah paradigma klasik yang menyatakan bahwa ilmu ekonomi adalah bebas nilai (value free) yang maksudnya Etika bisnis hanyalah mempersempit ruang gerak keuntungan ekonomis. Padahal, prinsip ekonomi, menurut mereka adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.    





1.       Apa penjelasan dari kearifan lokal ?
2.       Apa definisi dari etos kerja ?
3.       Apa ciri-ciri etos kerja Islami?
4.       Bagaimana pengembangan bisnis di Indonesia ?

1.       Untuk mengetahui penjelasan dari kearifan lokal
2.       Untuk mengetahui definisi dari etos kerja
3.       Untuk mengetahui ciri-ciri etos kerja Islami
4.       Untuk mengetahui pengembangan bisnis di Indonesia


















BAB II

PEMBAHASAN


            Menurut Rahyono, kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat.[2] Artinya, kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut.
            Agama (religion) yang bersumber dari ajaran wahyu dan kearifan lokal (local wisdom) yang bersumber dari kebiasaan (nilai adat) merupakan dua etnis yang berbeda. Namun demikian, bukanlah tidak mungkin keduanya telah terjadi sebuah dialektika di dalam masyarakat. Dalam arti, dalam perjalanan sejarah hidup (historical of life) sebuah komunitas, nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang telah banyak diwarnai oleh ajaran agama mereka. Dalamhal ini, antara lain dapat diamati bagaimana kearifan lokal yang berkembang di daerah, di mana Islam menjadi agama mayoritas penduduk lokal seperti daerah Madura dan Minangkabau.[3]
            Bahkan, kedua entitas tersebut dapat dikatakan kaya nilai yang mampu memberuikan semangat kepada pemeluknya agar mau bekerja keras dalam memenuhi kehidupanya, sebagaimana tercermin dari kedua etnis di Indonesia, yakni etnis Madura dan Minangkabau. Kedua etnis ini secara sosiologis mengandung titik persamaan, antara lain sama-sama sebagai Muslim yang taat, selain menjunjung tinggi nilai-nilai adat setempat. Di antara pesan moral kalangan etnis Madura terungkap dalam peribahasa (parebasan), “bapa’, babu’, guru, rato,” yang maksudnya agar masyarakat Madura mau mentaati petuah bapak dan ibu dalam keluarga, guru di sekolah, dan perintah penguasa dikampung di mana mereka hidup. Jika dikatakan bahwa pada umunya orang Madura nyare lako (mencari kerja), dapat dimaknai bahwa mereka bersedia bekerja apa saja, asalkan mendatangkan hasil. Bagi mereka, berapa hasil yang diperoleh, nampaknya tidaklah menjadi pertimbangan yang utama, karena yang dikejar mereka adalah mendapat hasil, sebagai syarat untuk menyambung hidup bagi dirinya sendiri beserta keluarganya. Oleh sebab itu, dengan filosofi seperti inilah, mereka sanggup memasuki dunia bisnis apa saja, terutama disektor informal yang tidak, atau bahkan masih jarang dilakukan oleh etnis lain.
            Hanya saja perlu dipahami, berdasarkan hasil penelitian,[4] etnis Madura yang berlatar belakang santri, motivasi mereka dalam bekerja lebih disebabkan faktor agama sebagai bagian dari ibadah kepada Tuhan. Di samping juga karena faktor lingkungan (sosiologis-adat-tradisi) yang mendorong siapapun orang Madura harus bekerja keras (nyari engon) untuk diri dan keluarganya. Jika tidak, masyarakat akan menstigma mereka sebagai pemalas (otonggul to’ot), tidak cakap (ta’ brenteng, ta’ pettel, ta’bilet), kawin hanya bermodalkan alat kemaluan (gun abandha peller), dan kata-kata lain yang bisa menurunkan rasa harga dirinya.
            Sebaliknya dari kalangan non santri, dapat dipahami, mereka lebih bermotivasi karena tradisi orang Madura yang beretos kerja yang tinggi sehingga akhirnya mereka berani merantau keluar Madura. Motivasi bekerja sebagai ibadah, nampaknya hanya terimbas oleh lingkungan mereka yang agamis, sebagaimana karakter masyarakat Madura pada umunya.[5]
            Bertolak pada motivasi kedua kelompok etnis Madura di atas dapat dipahami, bahwa sejatinya yang mendorong etos bisnis etnis Madura, tidak semata-mata karena faktor agama, tetapi juga karena faktor lain yang sudah menjadi filosofi dan tradisi masyarakat Madura secara turun-menurun. Filosofi inilah kiranya yang dapat dikategorikan sebagai nilai kearigan lokal (local wisdom).
            Demikian pula di lingkungan etnis Minangkabau, dikenal pepatah yang sangat populer, “adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan kitabulloh,” niscaya telah banyak memberi warna pada kepribadian orang Minang.[6] Betapa kuat pengaruh adat di kalangan etnis Minang, ditandai adanya keterpisahan antara pengawal agama dari pada pengawal adat. Keduanya, sama-sama dihormati di mana pemangku agama (syara’) berkompeten mengawal hal-hal yang berkaitan dengan masalah gama. Adapun kompetensi pemangku adat mengawal segala urusan yang berhungan dengan masalah kehidupan yang diatur berdasarkan adat.[7]
            Kuatnya kontrol adat antara lain ditandai dengan sekalipun orang Minang telah ada di rantau orang, segala perilaku mereka selalu terpantau di daerah asal.[8] Dengan adanya kontrol yang demikian itu, mereka akan selalu bersikap hati-hati dalam segala perilakunya. Tanpa kecuali tentunya dalam hubungannya dengan segala aktivitas bisnis.[9]
            Di antara ajaran kearifan lokal yang turut memacu orang-orang Minang bekerja keras dan berani merantau ke negeri orang, antara lain sebagaimana yang tersirat dari potongan pantun berikut ini: “Karatau madang dahulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun.”[10] Makna ajaran pada dasarnya memotivasi agar pemuda yang masih lajang hendaknya merantau keluar kampung karena didaerahnya sendiri mereka belum diperlukan. Setelah sukses di rantau, menurut penjelasan Basyaruddin, orang minang diminta partisipanya untuk membangun kampung halamanya, apakah itu membangun di tingkat nagari (kelurahan), atau jorong (RW), atau dusun (RT) sesuai kebutuhan. Nampaknya, antara lain, nilai ajaran inilah yang telah turut membius orang Minang untuk bekerja keras di manapun mereka berada, terutama yang dirantau orang.
            Bertolak dari uraian di atas, nampaknya nilai-nilai agama dan kearifan lokal telah ber-simbiose mutualistis dalam kurun waktu yang sedemikian lama yang pada akhirnya dijadikan panduan dalam kehidupan dua etnis. Bagaimana cara mereka melakukan bisnis, rasanya tidak bisa lepas dari imbas kedua nilai tersebut.[11]
            “Cultural research literature sheds light on the ethnic dynamics within the community by providing different ways of interpreting coping actions to the housing recovery process, that emphasize the importance of environmental assessments within transactional stress theory, and show how vulnerabilities are increased when power is concentrated within the purview of one ethnic group (Germain 1991).”[12]

            Dalam kehidupan sehari-hari, kita akan menyaksikan begitu banyak orang yang bekerja. Dalam melakukan suatu kegiatan kerja, berarti seseorang melakukan suatu kegiatan (activity).[13] Bekerja merupakan kewajiban setiap Muslim. Dengan berkerja seorang Muslim akan dapat mengekspresikan dirinya sebagai manusia, makhluk ciptaan tuhan yang paling sempurna di dunia. Setiap pekerjaan yang baik yang dilakukan karena Allah sama halnya dengan melakukan Jihad fi sabililah. Jihad memerlukan motivasi, sedangkan motivasi memerlukan pandangan hidup yang jelas dalam memandang sesuatu. Itulah yang dimaksud dengan etos dan etos kerja seorang Muslim harus selalu dilandasi Al-qur’an dan Hadist.
            Karakteristik etos kerja yang Islami digali dan dirumuskan berdasarkan konsep iman sebagai fondasi yang utama. Secara normatif mestinya Islam mampu menjadi sumber motivasi yang kuat dalam mewujudkan etos kerja, di samping memandang penting semua bentuk kerja yang produktif.[14]
            Setiap aktivitas bisnis yang terkait dengan produktif. Kerja yang produktif membutuhkan etos kerja yang baik. Apalagi dalam kondisi sosial yang berubah dengan cepat yang menjadikan materi sebagai parameter keberhasilanya sehingga dapat mengikis landasan moral ataupun nilai-nilai agama Terlebih lagi dengan pertumbuhan dan penyebaran sikap individualistik (ananiyah) yang semakin luas ditandai dengan sikap mementingkan diri sendiri dan lebih mengutamakan hasil dari pada proses.
            Selain itu, agama juga menghadapi tantangan globalisme yang pada hakikatnya merupakan neoliberalisme sehingga semakin menyulitkan penerapan agama sebagai referensi utama bagi masyarakat yang hidup di penerapan agama sebagai referensi utama bagi masyarakat yang hidup di lingkungan yang kian kompleks.
            Untuk menghadapi tantangan itu, diperlukan suatu penguatan etos kerja yang berlandaskan nilai-nilai Islam karena Islam memandang kerja sebagai kodrat hidup manusia untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Kerja merupakan juga jalan utama mendekatkan diri kepada Allah sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman yang mendasar dalam menghadapi perkembangan zaman yang semakin menantang dan maju.
            Dengan berlandaskan pada nilai-nilai moral dan agama yang kokoh diharapakan etos kerja akan semakin termotivasi dengan kuat dan terkendali. Dengan etos kerja yang demikian itu diharapkan diperoleh hasil yang maksimal dan berkeseimbangan antara kepentingan dunia dan ukhrawi, antara kepentingan individu dan masyarakat (orang lain).[15]   
            Membincangkan tentang kewirausahaan (entrepreneurship) di kalangan masyarakat (Muslim), tidak jarang akan muncul stigma klise yang berkonotasi negatif yakni kurang maju. Hal itu wajar karena apabila diletakkan dalam tataran empiric sangat jelas, sebagaimana kondisi ekonomi negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Gambaran umum di wilayah-wilayah ini, baik yang terdapat dikawasan Afrika maupun Asia, akan menunjukkan lemahnya penguasaan ekonomi masyarakat Islam. Dengan demikian, persepsi steriotipikal tentang masyarakat kawasan tersebut adalah rendahnya gairah kegiatan ekonomi, rendahnya kualitas kapitalisme, jika yang terakhir ini dapat dijadikan parameter dari keberhasilan sebuah etos entrepreneurship. Melimpahnya sumber daya alam (natural resources) yang ada di kawasan-kawasan tersebut, serta bagaiman masyarakat setempat memperlakukan atau memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki, justru akan semakin menunjukan lemahnya etos kewirausahaan dikalangan masyarakat muslim.[16] Hal ini diperkuat oleh sinyal elemen yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini sedang menderita kelemahan etos kerja. Sebuah pembahasan dalam Reader’s Digest, sebuah majalah populer konservatif dengan oplah terbesar di muka bumi, mengatakan bahwa Indonesia tidak akan dapat menjadi negara maju dalam waktu dekat ini karena “Indonesia has lousy work ethic and serious corruption” (Indonesia mempunyai etika kerja yang cacat dan korupsi yang gawat).[17]
            Max Weber, sosiolog dan political economist terkemuka asal Jerman, berpendapat tidak seperti Protestan, khususnya dari sekte calvinis puritan, Islam tidak mempunyai afinitas teologis dengan pengembangan kapitalisme.[18] Bahkan, seperti dikutip oleh Taufik Abdullah, meskipun dipercaya sebagai agama yang menganut sistem teologi yang “monoteistis universalistis”, Islam dianggap sebagai agama kelas prajurit, mempunyai kecenderungan pada kepentingan feudal, berorientasi pada prestise sosial, bersifat sultanistis, dan bersifat patrimonial birokratif, serta tidak mempunyai prasyarat rohaniah bagi pertumbuhan kapitalisme.[19] Masih menurut Taufik Abdullah, weber percaya bahwa ajaran Islam mempunyai sikap anti akal dan sangat menentang pengetahuan, terutama pengetahuan teknologi.[20]
            Alasan kuat Weber untuk sampai pada kesimpulan ini adalah praktik-praktik ekonomi kalangan Islam yang tidak mendukung proses pertumbuhan kapitalisme secara keseluruhan. Demikian pula praktik-praktik sufistik Islam yang pada umunya mengesankan sikap “anti dunia atau melupakan dunia” dijadikan dasar kesimpulan di atas. Lebih lanjut, Weber juga percaya bahwa kalangan Islam berbeda dengan agama Prostestan tidak memiliki sikap sederhana, hemat, tekun atau berperhitungan dalam seluruh aktivitas ekonomi. Singkat kata, mereka tidak mempunyai semangat beruf (calling/panggilan ilahi) dan asketis yang mempunyai afinitas dengan pertumbuhan kapitalisme.[21]
            Dengan demikian, masih seputar pendapat Weber seperti apa yang dinukil Amin Abdullah, Weber, pernah mempertanyakan dengan nada sisnis bahwa agama-agama seperti Islam, Katolik, dan Budha adalah agama-agama yang tidak mendukung proses produksi, atau munculnya kapitalisme awal, karena agama-agama ini merupakan agama yang menyebarkan paham asketik dan hidup membiara, serta agama prajurit, bukan agama kapital.[22]
            Tesis weber itu kurang bisa dipertanggungjawabkan secara realitas, dan bahkan mendapatkan sanggahan dari berbagai peneliti yang ingin melihat relasi antara agama dan etos kerja. Ketidak akuratan kesimpulan Weber ditenggarai karena ia kurang serius dan komprehensif mempelajari Islam, termasuk agama yang lain. Di samping juga, Weber bukan saja muncul sebagai anak Eropa yang kagum atas sejarah peradabannya, tetapi ia juga pengikut kecenderungan intelektual dari masa awal orientalisme yang cenderung bisa melihat Islam.[23]
            Antitesis dari kalangan Islam atas tesis Weber, antara lain dibuktikan oleh Mohammad Sobary yang bergerak disektor informal. Penelitian Sobary ini berlangsung di salah satu masyarakat di Jawa Barat yang kemudian yang menjadi tesis masternya di Monash University, 1995. Menurut Sobary,[24] dalam masyarakat senantiasa terjadi polarisasi sehingga terdapat masyarakat pedesaan (asli) dan urban (pendatang).
              Walaupun demikian, harus diakui secara jujur bahwa etos kerja tidak saja termotivasi oleh ajaran agama tertentu, karena secara faktual juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain, seperti letak geografis, ras, budaya, psikologis, dan lain sebagainya. Pengaruh berbagai faktor ini bisa disimpulkan dari tulisan Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso,[25] yang berjudul Teori Kebutuhan Berprestasi Versi Al-Qur’an.
            Dalam kehidupan sehari-hari, kita akan menyaksikan begitu banyak orang yang bekerja. Dalam melakukan suatu kegiatan kerja, berarti seseorang melakukan suatu kegiatan (activity). Akan tetapi, tidak semua aktivitas manusia dapat dikategorikan sebagai bentuk pekerjaan karena di dalam makna pekerjaan terkandung dua aspek yang harus dipenuhi secara nalar, yaitu sebagai berikut.
            Aktivitasnya dilakukan karena ada dorongan yang untuk mewujudkan sesuatu sehingga tumbuh rasa tanggung jawab yang besar untuk menghasilkan karya atau produk yang berkualitas. Bekerja bukan sekedar mencari uang. Namun merupakan suatu ibadah karena merasa ada panggilan untuk memperoleh ridho Allah. Karena itu, mustahil seorang muslim yang mengaku dirinya sebagai wakil Allah mengabaikan makna keterpanggilannya untuk bekerja dengan sempurna.[26]
            Apa yang dilakukan tersebut dilakukan karena kesengajaan, sesuatu yang direncanakan. Oleh karenanya, terkandung di dalamnya suatu gairah (semangat) untuk mengerahkan seluruh potensi yang dimiikinya sehingga apa yang dikerjakannya benar-benar memberikan kepuasan dan manfaat. Apa yang dilakukan memiliki alasan-alasan untuk mencapai arah dan tujuan yang luhur, yang secara dinamis memberikan makna bagi diri dan lingkungannya sebagaimana misi dirinya yang harus menjadi rahmat bagi alam semesta.[27]  
            Etos yang berasal dari kata Yunani, dapat diartikan sebagai sesuatu yang diyakini, cara berbuat, sikap serta persepsi terhadap nilai bekerja. Dari kata ini lahirlah apa yang dimaksud dengan “ethic” yaitu, pedoman, moral, dan perilaku, atau dikenal pula etiket yang artinya cara bersopan santun. Dengan demikian, kata etik ini dikenal istilah etika bisnis yaitu cara atau pedoman perilaku dalam menjalankan suatu usaha dan sebagainya.[28]  
            Etos yang juga mempunyai makna nilai moral adalah suatu pandangan batin yang bersifat mandarah daging. Seseorang akan merasakan bahwa hanya dengan menghasilkan pekerjaan yang terbaik, bahkan sempurna, nilai-nilai Islam diyakininya dapat diwujudkan. Oleh karenanya, etos kerja bukan hanya kepribadian atau sikap, melainkan lebih mendalam lagi. Ia adalah martabat, harga diri, dan jati diri seseorang.[29]
            Etos adalah aspek evaluative yang bersifat menilai.[30] Soerjono Soekanto mengartikan etos antara lain:
·         Nilai-nilai dan ide-ide dari suatu kebudayaan
·         Karakter umum suatu kebudayaan[31]
            Adapun kerja merupakan suatu kegiatan atau aktivitas yang memiliki tujuan dan usaha yang dilakukan guna membuat aktivitas tersebut bermanfaat. Pengertian kerja biasanya berhubungan dengan kegiatan seseorang untuk memperoleh penghasilan, baik materi maupun non-materi.
            Etos kerja menurut Mochtar Buchori adalah sikap dan pandangan terhadap kerja, kebiasaan kerja yang dimiliki seseorang, suatu kelompok manusia atau suatu bangsa.[32] Etos kerja adalah sifat, watak dan kualitas kehidupan batin manusia, moral dan gaya estetik serta suasana batin mereka. Ia merupakan sifat mendasar terhadap diri dan dunia mereka yang direfleksikan dalam dunia nyata.[33]
            Dari Penjelasan di atas, sekalipun beragam, tetapi dapat dipahami bahwa etos kerja merupakan karakter dan kebiasaan berkenaan dengan kerja yang terpancar dari sikap hidup manusia yang mendasar terhadapnya. Selanjutnya dapat dipahami bahwa timbulnya kerja antara lain tidak lepas karena dorongan sikap yang mendasar itu.[34]
            “Indeed, being professional means that workers are expected to assume appropriate work identities prescribed by an organisation (Fournier 1999). Professionalism, Fournier argues, has turned into a disciplinary mechanism that shapes a worker’s conduct. The professional worker is autonomous, responsible and competent, and can be controlled from a distance through internalising these traits (Fournier 1999: 284–290). In other words, professionalism has become a defining quality of an ideal worker. Using professionalism as a norm of evaluation, Filipino workers tended to point out their local subordinates’ need for constant supervision, lack of competence and discipline and excessive demands. Leila, 25, a Filipino who set up a multinational company in Delhi, narrated an incident and pointed out what she saw as the locals’ lack of initiative and sense of responsibility.”[35]
Ciri-ciri orang yang menghayati etos kerja akan tampak dalam sikap dan tingkah lakunya, di antaranya[36] sebagai berikut.
a)       Mereka kecanduan terhadap waktu
            Salah satu esensi dan hakikat dari etos kerja adalah cara seseorang menghayati, memahami, dan merasakan betapa berharganya waktu. Dia sadar waktu adalah netral dan terus merayap dari detik ke detik dan dia pun sadar bahwa sedetik yang lalu tak akan pernah kembali kepadanya.
b)       Mereka memiliki moralitas yang bersih (ikhlas)[37]
            Salah satu kompetensi moral yang dimiliki seorang yang berbudaya kerja Islami itu adalah nilai keikhlasan. Karena ikhlas merupakan bentuk dari cinta, bentuk kasih saying dan pelayanan tanpa ikatan.
c)       Mereka kecanduan kejujuran
            Pribadi muslim merupakan tipe manusia yang terkena kecanduan kejujuran, dalam keadaan apapun, dia merasa bergantung pada kejujuran. Dia pun bergantung pada amal saleh. Sekali dia berbuat jujur atau berbuat amal-amal saleh yang prestatif, dirinya bagaikan ketagihan untuk mengulanginya lagi. Dia terpenjara dalam cintanya kepada Allah. Tidak ada kebebasan yang dia nikmati kecuali dalam pelayanannya kepada Allah.
d)       Mereka Memiliki Komitmen[38]
            Yang dimaksud dengan commitment (dari bahasa Latin: committere, to connect, entrust-the state of being obligated or emotionally impelled) adalah keyakinan yang mengikat (aqad) sedemikian kukuhnya sehingga membelenggu seluruh hati nuraninya dan kemudian menggerakkan perilaku menuju arah tertentu yang diyakininya (i’tiqad).
e)       Istiqamah, Kuat Pendirian
            Pribadi Muslim yang profesional dan berakhlak memiliki sikap konsisten, yaitu kemampuan untuk bersikap taat asas, pantang menyerah, dan mampu mempertahankan prinsip serta komitmennya walau harus berhadapan dengan risiko yang membahayakan dirinya. Mereka mampu mengendalikan diri dan mengelola emosinya secara efektif.[39]

            Bisnis adalah pertukaran barang jasa, atau uang yang saling menguntungkan atau memberikan manfaat. Menurut arti dasarnya, bisnis memiliki makna sebagai “the buying and selling of goods and services.” Bisnis berlangsung karena adanya kebergantungan antara individu, adanya peluang internasional, usaha untuk mempertahankan dan meningkatkan standar hidup, dan lain sebagainya.[40] Bisnis juga dipahami dengan suatu kegiatan usaha individu (privat) yang terorganisasi atau melembaga, untuk menghasilkan atau menjual barang atau jasa guna mendapatkan keuntungan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.[41] Bisnis dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan (profit), memepertahankan kelangsungan hidup perusahaan, pertumbuhan sosial, dan tanggung jawab sosial. Dari sekian banyak tujuan yang ada dalam bisnis, profit memegang peranan yang sangat berarti dan banyak dijadikan alasan tunggal di dalam memulai bisnis.[42]
            Seseorang yang melakukan suatu bisnis dapat menghasilkan suatu keuntungan jika ia mengambil risiko, dengan memasuki suatu pasar baru dan siap menghadapi persaingan dengan bisnis-bisnis lainya. Organisasi bisnis yang mengevaluasi kebutuhan dan permintaan konsumen, kemudian bergerak secara efektif masuk ke dalam suatu pasar, dapat menghasilkan keuntungan yang substansial. Adapun kegagalan bisnis, sebagian besar adalah karena kesalahan atau kekurangan manajemen atas manusia, teknologi, bahan baku, dan modal. Perencanaan, pengorganisasian, pengendalian, pengarahan, dan manajemen karyawan yang efisien menghasilkan keuntungan yang memuaskan. Namun demikian, selain efektivitas manajerial, tingkat keuntungan bisnis sangatlah bergantung pada besarnya industri, besarnya bisnis, dan lokasi bisnis.[43]   
            Islam mewajibkan setiap muslim, khususnya yang memiliki tanggungan, untuk “bekerja”. Bekerja merupakan salah satu pokok yang memungkinkan manusia memiliki harta kekayaan. Untuk memungkinkan manusia berusaha mencari nafkah, Allah SWT melapangkan bumi serta menyediakan berbagai fasilitas yang dapat dimanfaatkan manusia untuk mencari rizki. Hal ini diterangkan dalam Al-Qur’an:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
Artinya: “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. (QS. Al-Mulk(67) :15)
            Pengembangan bisnis yang memerlukan modal dalam Islam harus berorientasi syariah sebagai pengendali agar bisnis itu tetap berada dijalur yang benar sesuai dengan ajaran Islam.[44] Dengan kendali syariat, aktivitas bisnis diharapkan bisa mencapai 4 (empat) hal utama yaitu sebagai berikut.[45]
            Tujuan perusahaan tidak hanya untuk mencari profit (qimah madiyah atau nilai materi) setinggi-tingginya, tetapi juga harus dapat memperoleh dan memberikan benefit (keuntungan atau manfaat) non materi kepada internal organisasi perusahaan dan eksternal (lingkungan), seperti terciptanya suasana persaudaraan, kepedulian sosial, dan sebagainya.
            Jika profit materi dan benefit non-materi telah diraih sesuai target, perusahaan akan mengupayakan pertumbuhan atau kenaikan terus menerus dari setiap profit dan benefitnya itu. Hasil perusahaan akan terus diupayakan agar tumbuh meningkat setiap tahunnya. Upaya pertumbuhan itu tentu dijalankan dalam koridor syariat. Misalnya, dalam meningkatkan jumlah produksi seiring dengan perluasan pasar, peningkatan inovasi sehingga bisa menghasilkan produk baru dan sebagainya.
            Belum sempurna orientasi manajemen suatu perusahaan bila hanya berhenti pada pencapaian target hasil dan pertumbuhan. Oleh karena itu, perlu diupayakan terus agar pertumbuhan target hasil yang telah diraih dapat dijaga keberlangsungannya dalam kurun waktu yang cukup lama.
            Faktor keberkahan untuk menggapai ridha Allah SWT merupakan puncak kebahagiaan hidup manusia muslim. Bila ini tercapai, menandakan terpenuhinya dua syarat diterimanya amal manusia, yakni adanya niat ikhlas dan cara yang sesuai dengan tuntutan syariat.  
            Selanjutnya diskursus ini mencoba untuk mentengahkan bagaimanakah model dan institusi yang dapat dijadikan sarana untuk membangun etos bisnis di Indonesia dengan bertolak dari nilai-nilai fundamental yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia. Dengan tujuan agar kemakmuran dan kesejahteraan dapat terwujud melalui pembangunan ekonomi berbasis syariah yang berkelanjutan secara terprogram. Paling tidak ada tempat model dan institusi, yakni komunitas ulama, komunitas pondok pesantren, lembaga pendidikan formal, dan keluarga.[47]   
            Di kalangan komunitas muslim Indonesia, bagaimanapun peran ulama sangat strategis sekali, melebihi peran pemimpin formal sekalipun. Dalam prespektif lokal, di Jawa Barat mereka disebut ajengan, sedangkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut Kyai. Sebuah sebutan atau gelar kehormatan yang diberikan masyarakat kepada seseorang ahli agama Islam yang pada umumnya memimpin pondok pesantren dan mengajarkan kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.[48]  Di kalangan masyarakat Madura, gelar untuk ulama atau kyai akrab disebut “kyae” yang pada umumnya memimpin sebuah pondok pesantern. Namun demikian, dapat pula seseorang di Madura mendapat sebutan “kyae” karena garis keturunan.[49]
            Indonesia, sebagaimana Sudan, yang mayoritas Muslim, secara lebih konkret bagaimana peran ulama dalam mengembangkan ekonomi Islam, antara lain dapat disimpulkan dari pendapat Antonio.[50] Pertama, pengawasan. Pengawasan di Indonesia dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan Dewan Syariah Nasional (DSN). DSN, lembaga otonom di bawah MUI, fungsi utamanya adalah mengawasi bank syariah Islam, selain juga memberi teguran kepada lembaga keuangan syariah apabila terjadi penyimpangan dari garis panduan (guidlines) yang telah ditetapkan.
            Kedua, sosialisasi. Menurut Antonio, paling tidak ada empat peran yang dapat dilakukan oleh ulama, yakni menjelaskan kepada masyarakat bahwa perbankan syariah pada dasarnya adalah penerapan fiqih maaliyah, mengembalikan masyarakat pada fitrah alam dan fitrah usaha yang sebelumnya telah mengikuti syariah, terutama dalam pertanian, perdagangan, investasi, dan perkebunan, menyarankan kepada para pengusaha agar mengikuti langkah yang ditempuh oleh bank syariah dalam berbagai hasil dan berbagai risiko dan membantu menyelamatkan perekonomian bangsa melalui pengembangan sosialisasi perbankan syariah.
            Ketiga, pengembangan produk. Dalam kaitan dengan pengembangan produk, paling tidak ulama dapat berperan menyerap aspirasi dan kebutuhan finansial umat, selanjutnya dirumuskan bersama manajemen bank syariah. Selain juga ikut mensosialisasikan hasil rumusan produk tersebut kepada umat. Bertolak dari uraian di atas dapat dipahami bahwa bagaimanapun peran ulama sangatlah strategis sekali dalam membangun etos bisnis sebagai prakondisi membangun ekonomi Islam sebagaimana pengalaman di Sudan. Sebagaimanapun juga peran pemuka gereja di Amerika untuk memajukan pertanian yang dapat mendorong kemajuan ekonomi mereka.[51]
            Di antara peran pondok pesantren (PP) salafi, Pesantren Sidogiri, termasuk diantara sederetan pesantren tua di Jawa Timur, atau mungkin di tanah air Indonesia yang berdiri sejak tahun 1745 M dan telah lebih dari 259 tahun berkiprah dalam pendidikan.[52]
            Sampai dewasa ini, terdapat tiga institusi ekonomi di lingkungan Pesantren Sidogiri yang dinilai sedemikian maju, yakni Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren), Koperasi Baitul Maal wat Tamwil Maslahah lil Ummah (BMT MMU), dan Koperasi Usaha Gabungan Terpadu (UGT). Diakui, bahwasanya pada tahun 2002, Koperasi BMT-MMU ini memperoleh predikat BMT peringkat kedua tingkat nasional dari segi total asset yang dimiliki. Padahal kala itu, asset lembaga ini dapat dikatakan relatif kecil, yakni Rp. 3,5 miliar.[53] Baru pada tahun 2006, koperasi ini telah meraih penghargaan tingkat nasional di Pekalongan dan juara kesatu kategori simpan pinjam pola syariah di Nganjuk.[54] Tidak hanya itu, lembaga keuangan syariah yang dibangun untuk menghilangkan praktik rente itu, setelah 13 tahun berkiprah terus melakukan ekspansi pengembangan secara progresif. Hal ini terbukti, target memberikan layanan di setiap prasal tradisional di kabupaten dan kota Pasuruan telah terealisasi sejak tahun 2009 dengan total kantor layanan sebanyak 24 outlet. Bahkan, menjelang akhir tahun 2009 lalu, BMT-MMU telah melakukan perubahan AD/ART yang semula di bawah binaan kabupaten menjadi binaan propinsi dengan nomer perubahan SKPAD Nomor 508.1/PAD/BH/XVI/66/103/2009.[55]
            Akhirnya, dengan belajar pada pengalaman Pesantren Sidogiri atas, dapat disimpulkan bahwa ternyata pesantren salafpun mampu ikut berpartisipasi dalam membangun kemandirian ekonomi umat yang berbasis syariah. Kendati lahir di daerah kecil,tetapi kiprahnya menggaung di tingkat nasional karena kinerjanya yang patut diapresiasi selama ini dan patut dicontoh oleh pesantern lain di tanah air.
            Peran sekolah, selaku institusi pendidikan formal jelas mempunyai peran yang sangat bermakna untuk membangun etos bisnis peserta didik agar kelak mereka mempunyai jiwa mandiri dalam ekonomi. Oleh sebab itu, penyusunan sebuah kurikulum secara khusus berbagai materi pembelajaran tentu sangat dibutuhkan yang penyusunannya melibatkan para apakar yang kopeten, beserta kalangan stakeholders selaku pengguna lulusan.
            Dengan maraknya pembukaan jurusan ekonomi Islam di bebagai perguruan tinggi umum maupun di perguruan tinggi agama di tanah air yang mengajarkan berbagai mata kuliah yang berkaitan dengan ekonomi berbasis syariah patut diapresiasi oleh semua kalangan. Oleh karena itu adanya perubahan nama fakultas ekonomi menjadi fakultas ekonomi dan bisnis pada dasarnya mengidentifikasi bahwa mahasiswa belumlah cukup hanya mendapat materi yang berkaitan dengan masalaah ekonomi yang sangat bersifat teoritik, akademik dan makro, namun juga perlu dibekali dengan pengetahuan sektor riil di dunia nyata yang justru akan banyak dihadapi oleh mereka.
            Adanya magang diperusahaan dengan berbagai bentuknya dan pengucuran dana hibah dari beberapa koporat saat ini dapat menstimulasi mahasiswa agar mereka belajar berbisnis sejak di bangku kuliah patut pula mendapat apresiasi. Dengan terus merancang bola pengembanganya agar dana stimulus itu benar-benar memberi manfaat kepada mahasiswa untuk mengembangkan kelimuan mereka, sekaligus membangun sense mereka di dunia bisnis.[56]  
            Dalam dunia pendidikan diakui bahwasanya peran keluarga selaku lembaga pendidikan informal sangatlah diakui peran dan eksistensinya karena di dalamnya banyak terbentang waktu sehingga kesempatan mananamkan nilai-nilai kebajikan lebih leluasa untuk dilakukan. Dalam keluarga, pada dasarnya yang bertindak sebagai pengajar, sekaligus pendidik pertama dan utama adalah kedua orang tua.[57]  Dalam institusi inilah sejatinya anak banyak belajar praktik kehidupan yang sebenarnya. Jika dalam usaha menggiatkan usaha bisnis (home industry) misalnya, maka berarti anak hidup di lingkungan keluarga bisnis. Kondisi keluarga semacam ini, langsung maupun tidak langsung berkecenderungan akan motivasi anak untuk meniru dan melakukan bisnis kelak dikemudian hari setelah waktunya mandiri di tengah masyarakat.
            Dikatakan bahwa kemajuan ekonomi bangsa Jepang yang merajai dunia dalam banyak hal yang sekarang disusul bangsa Cina, tidak lepas karena menggalakkan industri rumah tangga mereka. Dengan demikian, pemerintah mereka banyak memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengasah diri dan berpikir kreatif dalam membangun ekonomi rumah tangganya sendiri, sehingga bisa hidup mandiri dan pada giliranya akan ikut menunjang perekonomian negara secara makro. Kenyataan ini semakin meyakinkan bangsa lain, tanpa kecuali kita bangsa Indonesia untuk bertekad mendorong tumbuhnya atmosfer bisnis di kalangan rumah tangga di tanah air. Hanya saja, kiranya hal ini perlu dukungan pemerintah dalam bentuk stimulus pendanaan, termasuk dari kalangan industri besar dan dunia perguruan tinggi untuk melakukan bimbingan dan pendampingan.
            Dalam kaitan dengan peran keluarga ini antara lain kita bisa mengambil ibrah dari kalangan etnis Cina yang terbiasa mempertahankan kultur mereka menanamkan nilai-nilai filosofi bisnis kepada anak-anak mereka di dalam keluarga masing-masing. Tidaklah cukup hanya sebatas penanaman filosofi, tetapi mereka telah terbiasa pula melibatkan anak-anak mereka terjun ke dunia bisnis yang dibangun dalam internal keluarga. Oleh sebab itu, hampir dapat dipastikan bahwa para pebisnis sukses pada umumnya adalah mereka yang lahir dan dibesarkan dari keluarga dari kalangan pelaku bisnis sehingga sedikit banyak akan banyak memberi inspirasi dan motivasi kepada para anggota keluarga masing-masing.
            Tentu saja keluarga dalam kapasitasnya sebagai kawah candradimuka bisa dijadikan sarana menanamkan nilai-nilai bisnis Islami tanpa melupakan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) yang mungkin telah lama dipraktikkan oleh leluhur mereka sehingga sukses di dalam dunia bisnis. Etnis Madura dan Minangabau mau bekerja keras di rantau orang tidak lepas karena terimbas oleh ajaran agama mereka yang Islam, termasuk oleh ajaran lokal di lingkungan mereka yang telah lama berdialektika.[58]  









            Kita dapat memahami bahwa dalam membangun etos bisnis di Indonesia memerlukan sebuah tindakan terprogram, terpadu dan berkelanjutan. Dalam kehidupan bermasyarakat, dikenal nilai-nilai dan norma-norma etis.  Begitu juga pada dunia bisnis pada umumnya. Bisnis perlu mengenal dan memperhatikan etika. Dalam dunia persaingan yang ketat, bisnis yang berhasil adalah bisnis yang memprhatikan nilai-nilai moral. Jadi antara etika dan bisnis ada relevasinya. Adanya persaingan yang ketat antara pelaku usaha dan adanya prinsip ekonomi untuk memperoleh kaentungan sebesar-besarnya, membuat para pelaku bisnis bertindak tidak jujur.
            Adapun etika bisnis perusahaan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, dimana diperlukan suatu landasan yang kokoh untuk mencapai itu semua. Dan biasanya dimulai dari perencanaan strategis, organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang handal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen.
            Dalam menggunakan etos bisnis yang berlandaskan ajaran agama Islam maupun kearifan lokal diharapkan pembangunan ekonomi Islam di Indonesia terus mengalami pertumbuhan. Dengan semakin kuatnya etos bisnis yang berlandaskan ajaran agama Islam maupun kearifan lokal akan menghasilkan pelaku bisnis yang ber etika secara Islami dalam berbisnis.

                    Perlu adanya pendidikan atau penyuluhan tentang etika bisnis kapada para pelaku bisnis. Demikian pula penyuluhan tentang kehidupan berbisnis yang berlandaskan etika yang merupakan keadilan ekonomi, serta hasil dari penerapan keadilan, yaitu terwujudnya keadilan sosial.

Abdullah, M. Amin, “Agama dan Kesalehan Sosial Pengusaha Muslim”, dalam Zuly Qodir,

-------, Agama & Etos Kerja Dagang, Solo: Pondok Edukasi, 2002.

Abdullah, Taufik (ed), Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta: LP3ES, 1979.

Ahmad, Mustaq, Etika Bisnis dalam Islam, ter. Samson Rahman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.

Ancok, Djamaludin, dan Fuat Nashori Suroso, “Teori Kebutuhan Berprestasi Versi          Al-Qur’an” dalam Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994. 

Anoraga, Pandji, Manajemen Bisnis, Jakarta: Rineka Cipta & Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Bank BPD Jateng, 1997.

Antonio, Muhammad Syafii, Bank Syariah: Wacana Ulama & Cendekiawan, Jakarta: Bank Indonesia & Tazkia Institute, 1999.

Arifin, Imron, Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, Malang: Kalimasada Press, 1993.

Asifudin, Ahmat Janan, Etos Kerja Islami, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004.

Bakhri, Mokh. Syaiful, Kebangkitan Ekonomi Syariah di Pesantren: Belajar dari Pengalaman Sidogiri, Pasuruan: Cipta Pustaka Utama, 2004.

Buchori, Mochtar, Penelitian Pendidikan dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: IKIP Muhammadiyah, 2002.

Dhofir, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982.

Djakfar, Muhammad, Etika Bisnis Islami Tataran Teoritis dan Praktis, Malang: UIN-Maliki Press, 2008.

-------, Anatomi Perilaku Bisnis Dialektika Etika dengan Realitas, Malang: UIN-Maliki Press, 2009.   

-------, Hukum Bisnis: Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah, Yogyakarta: PT LKIS Printing Cemerlang, 2009.

-------, Etos Bisnis Etnis Madura Perantauan di Kota Malang Memahami Dialektika Agama dengan Kearifan Lokal, 2011, Hasil Penelitian.

-------, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan lokal, Malang: UIN-Maliki Press, 2019.

Effendy, Bahtiar, “Pertumbuhan Etos Kerja Kewirausahaan dan Etika Bisnis di Kalangan Muslim”, dalam Bahtiar Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan, Yogyakarta: Galang Press, 2001. Faidul Qadir Juz V/520.

Fauzia, Ika Yunia, Etika Bisnis dalam Islam, Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, 2014.

Kim B. Galindo, Zohreh R. Eslami, and Hassan Bashir, Culture’s Influence on Social Network Vulnerabilities for Ethnic Minorities in Rural Disaster Events,          Galindo et al. Journal of International Humanitarian Action (2018) 3:17 https://doi.org/10.1186/s41018-018-0047-2, Hlm 13

Kraar, Louis, “The New Powers of Asia”, Reader’s Digest, Edisi Asia (Singapura, Hongkong, Tokyo), vol. 52, 309 (Desember 1988).

Leman, The Best of Chinese Life Philisophies, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007.

Lorenza, Jazon A, Ethnic Moralities and Reciprocity: Towards an Ethic of South-South Relations, Bandung: Journal of the Global South (2015) 2:7 DOI 10.1186/s40728-014-0006-2, Hlm 6-7.

Majalah MODAL, Nomor 10, edisi 1 Agustus 2003.

Mansurnoor, Iik Arifin, Islam in Indonesian World, Ulama of Madura, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1990.

Muhammad, Etika Bisnis Islami, Yogyakarta: Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, 2004.

M.S. Amir, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, Jakarta Pusat: PT Mutiara Sumber Widya, 2001.

-------, Tanya Jawab Adat Minangkabau Hubungan Mamak Rumah dengan Sumando, Jakarta Pusat: PT Mutiara Sumber Widya, 2003.

Rahyono, FX, Kearifan Budaya dalam Kata, Jakarta: Wedatama Widyasastra, 2009.

Rakhmat, Jalaluddin, “Teologi Kemiskinan dan Pemiskinan Teologi”, dalam Jalaluddin Rakhmat, Renungan-Renungan Sufistik, Jakarta: Penerbit Mizan, 1999.

Sobary, Mohammad, Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi, Yogyakarta: Penerbit Yayasan Bentang Budaya, 1995.

Soekanto, Soerjono, Kamus Sosiologi, Jakarta: CV. Rajawali, 1983.

Tasmara, Toto, Membudayakan Etos Kerja Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.

-------, Etos Kerja Pribadi Muslim, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995.

Turner, Bryan S., Agama dan Teori Sosial, ter. Inyiak Ridwan Muzir, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.  

Weber, Max, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, ter. Yusup Priasudiarja, Jakarta: Pustaka Promethea, 2003.



[3] Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 380
[4] Muhammad Djakfar, Etos Bisnis Etnis Madura Perantauan di Kota Malang Memahami Dialektika Agama dengan Kearifan Lokal, 2011, Hasil Penelitian Tidak Dipublikasikan, 19
[5] Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 381
[6] Lihat, http://ms. Wikipedia.org/wiki/Minangkabau, 19 Juli 2004, dan lihat pula Muhammad Djakfar, Agama dan Perilaku Bisnis bagi Pelaku Sektor Informal Kalangan Etnis Madura dan Minangkabau di Kota Malang, 2006, Lembaga Penelitian dan Pengembangan UIN Malang, 48
[7] M.S Amir, Tanya Jawab Adat Minangkabau, (Jakarta Pusat:PT. Mutiara Suber Widya, 2003), 7
[8] M.S, Amir, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan hidup Orang Minang (Jakarta Pusat: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), 98
[9] Bandingkan dengan http://syalda-forever .tripod.com/ith adat minang 3.html
[10] Hasil wawancara dengan Basyaruddin, dan dalam Djakfar, Agama dan Perilaku Bisnis, 2006
[11] Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 382-383
[12] Kim B. Galindo, Zohreh R. Eslami, and Hassan Bashir, Culture’s Influence on Social Network Vulnerabilities for Ethnic Minorities in Rural Disaster Events, Galindo et al. Journal of International Humanitarian Action (2018) 3:17
[13] Muhammad Djakfar, Etika Bisnis Islami: Tataran Toritis dan Praktis (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 125
[14] Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 93
[15] Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 94
[16] Bahtiar Effendy, “Pertumbuhan Etos Kerja Kewirausahaan dan Etika Bisnis di Kalangan Muslim” dalam Effendy, Masyarakat, 195 
[17] Louis Kraar, “The New Powers of Asia”, Reader’s Digest, edisi Asia (Singapura, Hongkong, Tokyo), vol. 52, 309 (Desember 1988), 44
[18] Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, ter. Yusup Priasudiarja (Jakarta: Pustaka Promethea, 2003)
[19] Taufik Abdullah, (ed), Agama, Etos Kerja dan Perkembangan ekonomi (Jakarta: LP3ES, 1979), 19-20
[20] Ibid., 21-22. Dengan tidak menafiikan realitas, di sekeliling kita memang masih ada, bahkan masoih banyak umat Islam yang bersifat asketis, bersikap zuhud dalam arti terlalu menyerah pada takdir. Menyikapi hal ini yang perlu diluruskan bukanlah esensi ajaran Islamnya, tetapi bagaiman cara menyikapi dan menafsir essensi atau substansi ajaran tersebut. Dalam hal ini lihat Jalaluddin Rakhmat, “Teologi Kemiskinan dan Pemiskinan Teologi”, dalam Jalaluddin Rakhmat, Renungan-Renungan Sufistik (Jakarta: Penerbit Mizan, 1999), 231-238
[21] Effendy, Pertumbuha Etos, 197. Untuk uraian lebihlanjut, lihat Max Weber, The Protestant Ethics and The Spirit of Capitalism. Selanjutnya, Weber, sebagaiman dikutip Turner melihat tidak adanya jalan yang benar-benar individualis dalam pencapaian penyelamatan dalam Islam, Yahudisme dan Confusianisme. Dalam Islam, norma-norma yang berlaku dikalangan elit kesatria sangat bersifat kolektif dan konformis. Dalam Yahudisme, status pariah umat Yahudi yang berdiaspora menyebabkan maraknya ritualisme dan kelekatan dengan praktik-praktik  komunal. Hanya dalam kriatinitaslah individualisme bisa tumbuh dan berkembang dalam lingkungan urban Eropa abad tengah. Konsepsi barat terhadap individualisme cenderung menganggap Puritanisme sebagai kancah penggodok otonomi individual dan sebagai latar belakang individualisme kapitalis. Lihat Bryan S. Turner, Agama dan Teori Sosial, ter. Inyiak Ridwan Muzir (Yogyakarta: IRCisoD, 2003), 270-271   
[22] M. Amin Abdullah, “Agama dan Kesalehan Sosial Penguasa Muslim”, dalam Zuly Qodir, Agama dan Etos Kerja Dagang (Solo: Pondok Edukasi, 2002) x
[23] Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 97
[24] Muhammad Sobary, Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonom (Yogyakarta: Penerbit Yayasan Bentangan Budaya, 1995), 75
[25] Djamaludin ancok dan Fuat Nashori Suroso, “Teori Kebutuhan Berprestasi Versi Al-Qur’an” dalam Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), 84-87
[26] Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 100
[27] Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), 24
[28] Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), 25
[29] Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), 16
[30] Taufik Abdullah,ed., Agama, Etos Kerja dan Pembangunan ekonomi, (Jakarta: LP3ES, 1979),.3
[31] Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), 174
[32] Mochtar Buchori, Penelitian Pendidikan dan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: IKIP Muhammadiyah, 2002),6
[33] Musa Asy’arie, Islam, Etos Kerja, 33-34
[34] Ahmat Janan Asifudin, Etos Kerja Islam, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004), 27-28
[35] Jazon A Lorenza, Ethnic Moralities and Reciprocity: Towards an Ethic of South-South Relations, Bandung: Journal of the Global South (2015) 2:7 DOI 10.1186/s40728-014-0006-2, Hlm 6-7
[36] Tasmara, Membudayakan, 86
[37] Ibid., 87
[38] Ibid., 88
[39] Ibid., 89
[40] Pandji Anoraga, Manajemen Bisnis, (Jakarta: Rineka Cipta & Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Bank BPD Jateng, 1997), 2; Muhammad, Etika Bisnis Islami, (Yogyakarta: Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, 2004), 37
[41] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis: Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah (Yogyakarta: PT LKIS Printing Cemerlang, 2009), 25; Muhammad Djakfar, Etika Bisnis Islami: Tataran Teoritis dan Praktis, (Malang: UIN Maliki Press, 2008)
[42] Ika Yunia Fauzia, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, 2014), 3-4
[43] Muhammad Djakfar, Etika Bisnis Islami: Tataran Teoritis dan Praktis, (Malang: UIN Malang Press, 2008), 15
[44] Yusanto dan Widjayakusuma, Menggagas, 18-20
[45] Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 145-147
[46] Dalam kaitan dengan keberkahan ini bandingkan dengan Ahmad, Etika, 63
[47] Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 383
[48] Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LPES, 1982)., 55. Lihat pula Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng (Malang: Kalimasada Press, 1993), 14
[49] Muhammad Djakfar, Anatomi Perilaku Bisnis Dialektika Etika dengan Realitas  (Malang: UIN-Malang Press, 2009), 133. Baca pula Iik Arifin Mansurnoor, Islam in an Indonesian world: Ulama of Madura (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1990), xix-xx
[50] Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Wacana Ulama & Cendekiawan (Jakarta: Bank Indonesia & Tazkia Institute, 1999), 283-289
[51] Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 385-386
[52] Dalam Bakhri, Kebangkitan, 63
[53] Majalah MODAL, Nomor 10, edisi 1 Agustus 2003
[54] Bulletin BMT-MMU, edisi 02, Tahun 1 Syafar 1432 H, 7
[55] Dalam Bulletin BMT-MMU, edisi 02, Tahun 1 Syafar 1432 H, 6
[56] Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 388
[57] Leman, The Best of Chinese Life Philosophies (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), 131. Baca pula Thomas Liem Tjoe, Rahasia Sukses Bisnis Etnis Tionghoa di Indonesia (Yogyakarta: MedPress, 2007)
[58] Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 389-390


No comments:

Post a Comment

Etika Bisnis

Urgensi Etika Dalam Pengembangan Bisnis Yang Bermartabat

URGENSI ETIKA DALAM PENGEMBANGAN BISNIS YANG BERMARTABAT MAKALAH Untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Etika Binis ...