URGENSI ETIKA DALAM
PENGEMBANGAN BISNIS YANG BERMARTABAT
MAKALAH
Untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Etika Binis
Dosen Pengampu : Prof.
Dr. H. Muhammad Djakfar, SH., M.Ag
Disusun oleh:
Ilham
Muzaki
NIM: 17510024
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
2019/2020
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT,
karena dengan rahmat, ridho dan karunia-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Urgensi Etika Dalam
Pengembangan Bisnis Yang Bermartabat”
Selama penyusunan makalah ini penulis banyak
mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada: Bapak Prof. Dr. H.
Muhammad Djakfar, SH., M.Ag Sebagai
Dosen mata kuliah Etika Bisnis, Keluarga tercinta, serta Teman-teman dan
berbagai pihak yang telah memberi masukan dan saran kepada penulis.
Dalam penyusunan makalah ini penulis telah
berusaha sebaik-baiknya, namun penulis menyadari atas segala kekurangan itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penyusunan makalah
ini.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih atas
segala bantuan dari semua pihak yang terlibat dalam penulisan Makalah ini.
Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Aamiin.
Malang, 13 Maret 2020
Penulis,
|
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. URGENSI ETIKA BISNIS DALAM ISLAM
B. PRINSIP-PRINSIP ETIKA BISNIS DALAM ISLAM
C. AGAMA, MORAL DAN ETIKA: SEBUAH DIALEKTIKA
D. PERKEMBANGAN MORAL dan PENALARAN MORAL
1. Perkembangan
Moral
2. Penalaran Moral
E. IMPLIKASI DALAM EKONOMI: PERENUNGAN
FILOSOFIS
F. MASA DEPAN ETIKA BISNIS ISLAM
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Pada zaman era globalisasi sekarang
ini banyak pengusaha atau perusahaan-perusahaan dalam menjalankan usaha
bisnisnya tidak memperhatikan begitu pentingnya “Etika dan Moral” dalam
bisnisnya atau usahanya tersebut. Disini saya akan coba membahas tentang begitu
sangat pentingnya diperlukan etika dan moral dalam Pengembangan Bisnis yang
Bermartabat.
Menurut kamus, istilah etika
memiliki beragam makna berbeda. Salah satu maknanya adalah “prinsip tingkah
laku yang mengatur individu dan kelompok”. Makna kedua menurut kamus – lebih
penting – etika adalah “kajian moralitas”. Tapi meskipun etika berkaitan dengan
moralitas, namun tidak sama persis dengan moralitas. Etika adalah semacam
penelaahan, baik aktivitas penelaahan maupun hasil penelaahan itu sendiri,
sedangkan moralitas merupakan subjek.
Banyak faktor yang mempengaruhi dan
menentukan kegiatan berbisnis. Sebagai kegiatan sosial, bisnis dengan banyak
cara terjalin dengan kompleksitas masyarakat modern. Dalam kegiatan berbisnis,
mengejar keuntungan adalah hal yang wajar, asalkan dalam mencapai keuntungan
tersebut tidak merugikan banyak pihak. Jadi, dalam mencapai tujuan dalam
kegiatan berbisnis ada batasnya. Kepentingan dan hak-hak orang lain perlu
diperhatikan.
Perilaku etis dalam kegiatan
berbisnis adalah sesuatu yang penting demi kelangsungan hidup bisnis itu
sendiri. Bisnis yang tidak etis akan merugikan bisnis itu sendiri terutama jika
dilihat dari perspektif jangka panjang. Bisnis yang baik bukan saja bisnis yang
menguntungkan, tetapi bisnis yang baik adalah selain bisnis tersebut
menguntungkan juga bisnis yang baik secara moral. Perilaku yang baik, juga
dalam konteks bisnis, merupakan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral.
Bisnis juga terikat dengan hukum.
Dalam praktek hukum, banyak masalah timbul dalam hubungan dengan bisnis, baik
pada taraf nasional maupun taraf internasional. Walaupun terdapat hubungan erat
antara norma hukum dan norma etika, namun dua macam hal itu tidak sama.
Ketinggalan hukum, dibandingkan dengan etika, tidak terbatas pada
masalah-masalah baru, misalnya, disebabkan perkembangan teknologi.
Tanpa disadari, kasus pelanggaran
etika bisnis merupakan hal yang biasa dan wajar pada masa kini. Secara tidak
sadar, kita sebenarnya menyaksikan banyak pelanggaran etika bisnis dalam
kegiatan berbisnis di Indonesia. Banyak hal yang berhubungan dengan pelanggaran
etika bisnis yang sering dilakukan oleh para pebisnis yang tidak bertanggung
jawab di Indonesia. Berbagai hal tersebut merupakan bentuk dari persaingan yang
tidak sehat oleh para pebisnis yang ingin menguasai pasar. Selain untuk
menguasai pasar, terdapat faktor lain yang juga mempengaruhi para pebisnis
untuk melakukan pelanggaran etika bisnis, antara lain untuk memperluas pangsa
pasar, serta mendapatkan banyak keuntungan. Ketiga faktor tersebut merupakan
alasan yang umum untuk para pebisnis melakukan pelanggaran etika dengan
berbagai cara.
1. Apa
urgensi etika bisnis dalam Islam ?
2. Bagaimana
integrasi agama, moral dan etika ?
3. Bagaimana
pengembangan moral dan penalaran moral ?
4. Bagaimana
mengimplikasikan agama dan moral dalam pengembangan bisnis yang bermartabat ?
1. Untuk
mengetahui urgensi etika bisnis dalam Islam
2. Untuk
mengetahui integrasi agama, moral dan etika
3. Untuk
mengetahui pengembangan moral dan penalaran moral
4. Untuk
mengetahui implikasi agama dan moral dalam pengembangan bisnis yang bermartabat
BAB II
PEMBAHASAN
Bagaimanapun perilaku mencerminkan
akhlak (etika) seseorang. Atau dengan kata lain, perilaku ber-relasi dengan
etika. Apabila seseorang taat pada etika, berkecenderungan akan menghasilkan
perilaku yang baik dalam setiap aktivitas atau tindakannya, tanpa kecuali dalam
aktivitas bisnis.
Secara konkret bisa di-ilustrasikan
jika seseorang pelaku bisnis yang peduli pada etika, bisa diprediksi ia akan
bersikap jujur, amanah, adil, selalu melihat kepentingan orang lain (moral
altruistik) dan sebagainya. Sebaliknya bagi mereka yang tidak mempunyai
kesadaran akan etika, di manapun dan kapan pun saja tipe kelompok orang kedua
ini akan menampakan sikap kontra produktif dengan sikap tipe kelompok orang
pertama dalam mengendalikan bisnis.[1]
Menurut Qardawi,[2]
antara ekonomi (bisnis) dan akhlak (etika) tidak pernah terpisah sama sekali,
seperti halnya antara ilmu dan akhlak, antara politik dan akhlak, dan antara
perang dan akhlak. Akhlak adalah daging dan urat nadi kehidupan Islami karena
risalah Islam adalah risalah akhlak. Sebagaimana pula tidak pernah terpisah
antara agama dan negara, dan antara materi dan rohani. Seorang Muslim yakin
akan kesatuan hidup dan kesatuan kemanusiaan. Oleh sebab itu, tidak bisa di
terima sama sekali tindakan pemisahan antara kehidupan dunia dan agama
sebagaimana yang terjadi di Eropa.
Seorang pengusaha dalam pandangan
etika Islam bukan sekedar mencari keuntungan, melainkan juga keberkahan yaitu
kemantapan dari usaha itu dengan memeperoleh keuntungan yang wajar dan di
ridhoi oleh Allah SWT. Ini berarti yang harus diraih oleh seorang pedagang dlam
melakukan bisnis tidak sebatas keuntungan materiil (bendawi), tetapi
yang penting lagi adalah keuntungan immaterial (spiritual). Kebendaan
yang profan (intransenden) baru bermakna apabila diimbangi dengan
kepentingan spiritual yang transenden (ukhrawi).
Sebagai agama rahmatal lil
‘alamin yang bersumber pokok dari ajaran wahyu, sudah barang tentu
menjadikan etika (akhlak) sebagai urat nadi dalam segala aspek kehidupan orang
muslim. Terlebih lagi Islam mengajarkan ketinggian nilai etika tidak secara
teorotis yang bersifat abstrak, namun juga yang bersifat aplikatif. Tidakkah
kita sadari bahwa salah satu misi pokok kerasulan Muhammad SAW. adalah untuk
menyempurnakan akhlak manusia. Dengan begitu bagaimana praktik bisnis Rasulullah
SAW. yang di tunjukan kepada kita, pada hakikatnya tidak lepas dari rekayasa
Allah SWT yang mengajarkan kepada manusia tentang etika dalam pengertian
praktis itu. Justru karena itu, tesis Yusuf Qardhawi yang mengatakan bahwa
segala ranah kehidupan muslim tidak lepas dari pelajaran akhlak, termasuk dalam
aktivitas ekonomi (bisnis), tak perlu diragukan lagi keabsahannya dan benar
adanya.[3]
Akhirnya, untuk jelasanya, apa
sebenarnya urgensi etika dalam aktivitas bisnis, dalam hal ini dapat ditinjau
dari berbagai aspek. Pertama, aspek teologis, bahwasanya etika dalam
Islam (akhlak) merupakan ajaran Tuhan yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW.
baik dalam bentuk Al-Qur’an maupun Sunnah. Secara normatif, Allah telah
menyinggung masalah akhlak dalam surat al-Qalam ayat 4:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam
68:4)
Namun, secara praktis Allah telah
mengajarkan bagaimanakah sejatinya berbisnis yang etis melalui praktik bisnis
Rasulullah SAW. (uswah prophetic) selama kurang lebih 25 tahun lamanya. Kedua,
aspek watak manusia (character) yang cenderung mendahulukan
keinginan (will) dari pada kebutuhanya (need). Bukan kah watak
dasar manusia itu secara universal adalah bersifat serakah (tamak) dan
cenderung mendahulukan keinginannya yang tidak terbatas dab tidak terukur dari
pada sekedar memenuhi kebutuhannya yang terbatas dan terukur. Dengan watak
semacam ini tentu saja manusia membutuhkan pencerahan agar mereka sadar
bahwasanya dalam hidup ini yang paling pokok adalah memenuhi kebutuhan yang
mendasar. Apabila tidak, niscaya dalam melakukan bisnis mereka berpotensi akan
menghalalkan segala cara hanya demi meraih keuntungan yang sesaat. Dengan kata
lain, mereka akan menabrak nilai-nilai etika yang sejatinya harus dijunjung
tinggi yang mengakibatkan kerugian berbagai pihak yang terlibat transaksi.
Ketiga, aspek sosiologis (reality),
dalam realitas sebagai akibat dari watak dasar atau perilaku manusia yang
cenderung amoral, pada akhirnya akan melahirkan kontes persaingan yang tidak
sehat dan semakin keras dalam dunia global. Selain juga dapat melahirkan
praktek monopoli yang melanggar hak asasi manusia untuk memberi kesempatan
orang lain melakukan bisnis yang sama. Secara realitas pula, dewasa ini tidak
jarang telah banyak moral hazard yang tidak konstruktif, sebagai pemicu
lahirnya praktik destruktif yang menghancurkan nilai-nilai luhur dalam dunia
bisnis. Dengan kenyataan ini sudah selayaknuya perlu adanya ajaran etika dalam
dunia bisnis agar para pelaku bisnis memahami dan menyadari mana wilayah yang
sah dilakukan dan mana pula yang tidak boleh dilanggar dalam melakukan usaha.
Jika tidak, dampak yang akan terasa, perkembangan laju ekonomi sebuah bangsa
akan terlambat, karena sektor penggerak riilnya sedang mengalami masalah.
Keempat, perkembangan
teknologi (technology) yang semakin pesat. Kecenderungan penyimpangan
nilai etika dalam dunia bisnis tidaklah sebatas karena masalah-masalah sosial
yang berkembang di era globalisasi ini. Sejalan dengan itu yang tidak kalah
signifikannya adalah karena perkembangan informasi dan teknologi yang dikenal
dengan sebutan IT (Information and technology). Perkembangan teknologi
dengan berbagai ragamnya di satu sisi banyak mendatangkan nilai positif yang
semakin mempermudah dan mempercepat pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Namu, di
sisi lain dampak negatifnya pasti akan terjadi.
Kelima, aspek akademis (Science-academic).
Bertolak dari keempat aspek sebagaimana di atas. Maka sudah selayaknya apabila
etika bisnis dijadikan mata kajian akademis baik masa kini maupun masa yang
akan datang. Kajian akademik secara mendalam dan berkesinambungan (suistanability)
dari kalangan akademisi sangatlah diharapkan agar mereka dapat selalu
menghasilkan teori-teori mutakhir berdasarkan atas kajian literer dan atau
penelitian lapangan (field research) untuk kemudian dapat dijadikan
acuan dalam konteks realitas. Untuk selanjutnya, dari aplikasi teori dalam
memotret sebuah realitas itu bisa dijadikan bahan kajian baru yang lebih intens
untuk melahirkan sebuah teori yang baru lagi, sebagai koreksi atas teori yang
ada. Demikianlah seterusnya sampai akhirnya etika bisnis Islami diharapkan
benar-benar menjadi bidang kajian yang dapat menjawab tantangan zaman sesuai
kebutuhan,[4]
Prasyarat
untuk meraih keberkahan atas nilai transenden seorang pelaku bisnis harus
memperhatikan beberpa prinsip etika yang telah digariskan dalam Islam, antara lain[5]:
Pertama, jujur dalam takaran
(quantity). Jujur dalam takaran ini sangat penting untuk diperhatikan
karena Allah sendiri secara gemblang berfirman: “Celakalah bagi orang yang
curang. Apabila mereka menyukat dari orang lain (untuk dirinya), dipenuhkannya
(sukatannya). Tetapi apabila mereka menyukat (untuk orang lain) atau menimbang
(untuk orang lain), di kuranginya” (QS. Al-Mutaffifin 83:1-3).
Masalah kejujuran tidak hanya
merupakan kunci sukses seorang pelaku bisnis menurut Islam. Tetapi etika bisnis
modern juga sangat menekankan pada prinsip kejujuran. William C. Byham
menyatakan:
“Bussines ethics build trust, and
trust is the basic of modern business. If we accept the view, arqued for
earlier, that there are not two moralities- one for individuals and one for
business- but a common moral framework for judging both individual and
corporate activities, then we can gain some guidance for business behavior by
looking at what philosophers have seen as the morally good life”[6]
Kedua, menjual barang yang
baik mutunya (quality). Salah satu cacat etis dalam perdagangan adalah
tidak transparan dalam hal mutu, yang berarti mengabaikan tanggung jawab moral
dalam dunia bisnis. Padahal tanggung jawab yang diharapkan adalah tanggung
jawab yang berkeseimbangan (balance) antara memperoleh keuntungan (profit)
dan memenuhi norma-norma dasar masyarakat baik berupa hukum, maupun etika atau
adat.[7]
Menyembunyikan mutu sam halnya dengan berbuat curang dan bohong. Bukankah
kebohongan itu akan menyebabkan ketidak tentraman, sebaliknya, kejujuran akan
melahirkan ketenangan, sebagaimana penjelasan Rasulullah SAW. dalam sabdanya
yang diriwayatkan al-Turmudhi dari Abu Musa al-Anshariy dari ‘Abd Allah ibn
Idris dari Shu’bah dari Burayd ibn Abi Maryam dari Abi al-Hawra’ al-Sa’diy dari
al-Hasan ibn ‘Aliy yang mengatakan: Aku hafal dari apa yang diucapkan
Rasulullah SAW:
“Tinggalkan apa yang meragukanmu
kepada apa yang tidak me-ragukanmu. Karena sesungguhnya kejujuran (berkata
benar) itu adalah membawa ketenangan dan kebohongan (berkata bohong) itu akan
me-lahirkan kegelisahan” (HR. al-Turmudhi)[8]
Ketiga, dilarang menggunakan
sumpah (al-qasm). Seringkali ditemukan dalam kehidupan sehari-sehari,
terutama dikalangan pedagang kelas bawah apa yang dikenal dengan obral sumpah.
Mereka terlalu mudah menggunakan sumpah dengan maksud utuk meyakinkan pembeli
bahwa barang dagangannya benar-benar berkualitas dengan harapan agar orang
terdorong untuk membelinya. Dalam Islam perbuatan semacam itu tidak dibenarkan
karena juga akan menghilangkan keberkahan sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Dari Abu Hurairah r.a, saya
mendengar Rasulullah SAW. bersabda: “Sumpah itu melariskan dagang, tetapi
menghapuskan keberkahan” (HR. Abu Dawud).[9]
Keempat, longgar dan bermurah
hati (tatsamuh dan taraahum). Dalam transaksi terjadi kontak
antara penjual dan pembeli. Dalam hal ini seseorang penjual diharapkan bersikap
ramah dan bermurah hati kepada setiap pembeli. Dengan sikap ini seorang penjual
akan mendapatkan berkah dalam penjualan dan akan diminati oleh pembeli. Kunci
suksesnya adalah satu yaitu servis kepada orang lain. Sebuah Hadist riwayat
al-Turmudhi dari ‘ikrimah ibn ‘Ammar dari Abu Zumayl dari Malik ibn Marthad
dari bapaknya, dari Abi Dharr, yang berbunyi:
Rasulullah SAW. bersabda: “Senyummu
kepada saudaramu adalah sedekah bagimu” (HR. Al-Turmudhi)[10]
Kelima, membangun hubungan
baik (interrelationship/silat al-rahym) antar kolega. Islam menekankan
hubungan konstruktif dengan siapa pun, inklud antar sesame pelaku dalam bisnis.
Islam tidak menghendaki dominasi pelaku yang satu di atas yang lain, baik dalam
bentuk monopoli, oligopoli, maupun bentuk-bentuk lain yang tidak mencerminkan
rasa keadilan atau pemerataan pendapatan. Diana Rowland mengemukakan cara berfikir
menurut orang Jepang bahwa bisnis lebih merupakan suatu komitmen dari pada
sekedar transaksi. Karenanya, hubungan pribadi dianggap penting dalam
mengembangkan ikatan perasaan dan kemanusiaan dan perlu diyakini secara timbal
balik bahwa hubungan bisnis tidak akan berakhir segera setelah hubungan bisnis
selesai. Ini sangat bertentangan dengan apa yang sering dilakukan menurut cara
berfikir orang barat. Hubungan bisnis yang didasarkan pada keuntungan secara
pribadi bukanlah merupakan cara orang Jepang.[11]
Dengan demikian, memahami filosofi
bisnis orang Jepang bahwasanya yang penting antara penjual dan pembeli tidak
hanya mengejar keuntungan materi semata, namun dibalik itu ada nilai
kebersamaan untuk saling menjaga jalinan kerjasama yang terbangun lewat silaturrahim.
Dengan silaturrahim itulah menurut ajaran agama Islam akan diraih hikmah yang
dijanjikan yakni akan diluaskan rezeki dan dipanjangkan umurnya bagi siapapun
yang melakukannya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari:
“Bahwasanya Rasulullah SAW.
bersabda: barang siapa yang mengharapkan dimudahkan rezekinya dan dipanjangkan
umurnya, maka hendaklah ia menjalin hubungan silaturrahim (HR. al-Bukhari)[12]
Keenam, tertib administrasi
dalam dunia perdagangan wajar terjadi praktik pinjam meminjam. Dalam hubungan
ini Al-Qur’an mengajarkan perlunya admiistrasi hutang piutang tersebut agar
manusia terhindar dari kesalahan yang mungkin terjadi sebagaimana firman Allah
SWT:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ
مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِٱلْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ
كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ ٱلَّذِى
عَلَيْهِ ٱلْحَقُّ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔا ۚ
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya.” (QS. al-Baqarah 2:282).
Substansi
ayat di atas mengasahkan asumsi kita bahwa praktik administrasi niaga modern
sekarang sebenarnya telah diajarkan dalam Al-Qur’an dalam 14 abad yang lau.
Intinya adalah mendidik para pelaku bisnis agar bersikap jujur, terhindar dari
penipuan dan kekhilafan yang mungkin terjadi.
Ketujuh, menetapkan harga
dengan transparan. Harga yang tidak transparan bisa mengandung penipuan. Untuk
itu mentapkan harga dengan terbuka dan wajar sangat dihormati dalam Islam agar
tidak terjerumus dalam riba. Kendati dalam dunia bisnis kita tetap ingin
memperoleh prestasi (keuntungan), namun hak pembeli harus tetap di hormati.[13]
Dalam arti penjual harus bersikap toleran terhadap kepentingan pembeli,
terlepas apakah ia sebagai konsumen tetap maupun bebas (insidentil). Bukankah
sikap toleran itu akan mendatangkan rahmat dari Allah SWT sebagai sabda
Rasulullah SAW. dalam sebuah Hadistnya yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Aliy
ibn Ayyash, dari Abu Ghassan Muhammad Ibn Mutarrif, dari Muhammad Ibn
al-munkadiri dari Jabir Ibn ‘Abd allah radiy Allah ‘anhuma:
“Sesungguhnya
Rasulullah SAW. bersabda: Allah telah memberi rahmat kepada seseorang yang
bersikap toleran ketika membeli, menjual dan menagih janji (utang)” (HR.
al-Bukhari).[14]
Berbicara
tentang moral dan etika asosiasi kita juga pada istilah akhlak. Dengan demikian
ada tiga istilah yang menjadi sumber nilai kebajikan dan keadilan yang sudah
dikenal dalam kehidupan sehari-hari, yaitu moral, etika dan akhlak. Hanya saja
dua istilah pertama banyak dikenal dalam literatur filsafat Barat, sedangkan
istilah yang ketiga banyak dikenal dalam literatur Islam, dalam kaitanya dengan
masalah akhlak atau tasawuf.[15]
Dari hasil penelitian penulis[16]
dapat disimpulkan bahwa para ahli tidak membedakan secara substansial antara
pengertian etika dan moral, sebagaimana bisa kita buktikan dalam
literatur-literatur mereka. Bahkan, bila kita bandingkan kedua istilah tersebut
dengan istilah akhlak dalam literatur Islam, secara substansial juga tidak ada
perbedaan. Persamaan itu karena katiganya sama-sama mengandung ajaran kebajikan
(wisdom), keadilan (justice) dan kejahatan (evil).
Untuk lebih jelasnya tentang dialektika
itu, di sini perlu dikemukakan pendapat M. Amin Abdullah dalam Djakfar
(2019:75):
Perlu dibedakan apa yang disebut
dengan ‘moral’ dan apa yang disebut dengan ‘etika’. Tidak hanya orang awam,
tetapi banyak dikalangan cendekiawan mengaburkan ketajaman distinsi antara
keduanya. Pada umumnya orang cenderung untuk menyamaratakan begitu saja antara
keduanya, bahkan tidak sedikit yang mengacaukanya dengan istilah ‘toto kromo’,
‘sopan santun’, ‘budi pekerti’ (dalam ruang lingkup adat
istiadat) atau dengan istilah ‘akhlak’ (dalam ruang agama). Untuk
kepentingan ketajaman analisis What is going on, kita memang perlu
melihat secara lebih dalam distinsi antara keduanya.
Titik tekan ‘moral’ adalah
aturan-aturan normatif yang perlu ditanamkan dan dilestarikan secara sengaja
baik oleh keluarga, lembaga-lembaga pendidikan, lembaga-lembaga pengajian.
Dengan begitu, moral adalah suatu aturan atau tata cara hidup yang bersifat
normatif yang sudah ikut serta bersama kita seiring dengan umur yang kita
jalani. Dari kecil kita sudah mengenal aturan-aturan itu. Pengajaran moral
begitu banyak sumber mata airnya. Sumbernya bisa dari agama (Islam, Kristen, Katolik,
Budha dan Hindu), bisa dari adat istiadat (orang tua, masyarakat, lingkungan
sekitar), bisa dari negara (pendidikan moral Pancasila), bisa juga dari
ideologi-ideologi lain seperti liberalism, individualisme, kolektivitisme,
pragmatisme, hedonisme, dan lain sebagainya.[17]
Mencermati uraian di atas sampailah
pada kesimpulan bahwa kita sepakat ketiga institusi: agama, moral, dan etika
merupakan sumber nilai kebajikan. Agama merupakan dasar atau sumber ajaran
moral, kendati juga ada yang berpendapat bahwa moral itu otonom dari ajaran
agama. Moral yang bersumber dari agama inilah yang kemudian disebut etika religius
atau dikenal sebagai ajaran akhlak dalam Islam. Etika religius inilah yang akan
memandu kehidupan manusia guna mencapai kebahagiaan yang dicita-citakan. Hanya
saja apakah rumusan-rumusan nilai moral yang sudah mengkristal itu masih sesuai
dengan perubahan sosial yang begitu cepat dan dahsyat. Maka inilah bidang garap
etika rasional yang kemudian juga dikenal dengan filsafat moral.[18]
Kami telah mengatakan bahwa Etika
adalah studi tentang moralitas dan bahwa seseorang mulai menjalankan etika
ketika dia mulai melihat standar moral yang telah diserap dari keluarga, agama,
teman, dan masyarakat dan mulai bertanya apakah standar itu rasional atau tidak
rasional dan apakah standar itu menyatakan situasi dan isu-isu. Dibagian ini,
kami melihat lebih dekat proses penelitian standar moral seseorang dan proses
menerapkannya ke dalam situasi dan isu konkret. Kami mulai mendeskripsikan
kemampuan seseorang untuk menggunakan dan secara kritis mengevaluasi perkembangan
standar moralnya dalam perjalanan hidupnya, kemudian kami mendeskripsikan proses
penalaran melalui standar moral yang digunakan dan di evaluasi.[19]
Kami kadangkala mengasumsikan bahwa
nilai seseorang dibentuk selama masa kanak-kanak dan tidak berubah sesudah itu.
Ke-nyataannya, sebagian besar riset psikologi, juga pengalaman moral seseorang,
menunjukkan bahwa ketika seseorang dewasa, mereka mengubah nilai mereka dengan
cara yang sangat mendalam dan mendasar. Seperti kemampuan fisik orang,
kemampuan emosional dan kognitif berkembang sejalan dengan usia mereka,
demikian juga kemampuan mereka untuk menghadapi isu moral yang berkembang
sepanjang hidup mereka. Kenyataannya, sebagaimana ada tingkatan-tingkatan
pertumbuhan yang terindentifikasi dalam perkembangan fisik, kemampuan untuk
membuat penilaian moral yang masuk akal juga berkembang dalam
tingkatan-tingkatan yang teridentifikasi. Saat anak-anak, kita secara jujur
mengatakan apa yang benar dan apa yang salah, dan juga patuh untuk menghindari
hukuman: Ketaatan anak-anak terhadap standar moral secara esensial berdasarkan
usaha menghindari rasa sakit yang mereka persepsi. Sebagaimana kita tumbuh
menjadi remaja, standar moral konvensional secara bertahap diinternalisasikan.
Kesetiaan terhadap standar moral pada tahap ini didasarkan pada pemenuhan
harapan keluarga, teman, dan masyarakat sekitar. Kita melakukan apa yang benar
karena itulah yang diharapkan oleh kelompok kita. Hanya sebagai manusia dewasa
yang rasional dan berpengalamanlah kita memiliki kemampuan untuk merefleksikan
secara kritis standar moral konvensional yang diwariskan oleh keluarga, teman,
budaya, atau agama kita. Kita kemudian mulai mengevaluasi secara kritis standar
moral tersebut dan konsekuensinya, dan mengevaluasi ketika tidak memadai, tidak
konsisten, atau tidak masuk akal. Kita, pendek kata, mulai menjalankan etika,
dan moralitas kita sekarang terdiri atas standar moral yang tidak memihak dan
yang lebih memerhatikan kepentingan orang lain dan secara memadai menyeimbangkan
perhatian terhadap orang lain dengan perhatian terhadap diri kita sendiri.
Ada banyak riset psikologi yang
memperlihatkan bahwa pandangan moral seseorang kurang lebih berkembang seperti
itu. Psikolog Lawrence Kohlberg, misalnya, yang memelopori riset dalam bidang
ini menyimpulkan-berdasarkan riset selama lebih dari 20 tahun-bahwa ada enam
tingkatan yang teridentifikasi dalam perkembangan kemampuan moral seseorang
untuk berhadapan dengan isu-isu moral. Kohlberg dalam Velasquez (2005:25) mengelompokkan
tahapan perkembangan moral menjadi tiga tingkat, masing-masing berisi dua
tahap, yang kedua adalah bentuk yang lebih maju dan terorganisasi dari
perspektif umum masing-masing tahap. Urutan enam tahapan dapat disimpulkan
sebabagai berikut.
Level Satu: Tahap
Prakonvensional
Pada
dua tahap pertama, seorang anak dapat merespons peraturan dan ekspektasi sosial
dan dapat menerapkan label-label baik, buruk, benar, dan salah.
Aturan ini, bagaimanapun dilihat sebagai sesuatu yang diharuskan secara
eksternal pada dirinya. Benar dan salah diinterpretasikan dalam pengertian
konsekuensi tindakan yang menyenangkan atau menyakitkan atau dalam pengertian
kekuatan fisik dari mereka yang membuat aturan. Jika seseorang menanyai seorang
anak berumur lima tahun, misalnya, apakah mencuri itu salah, dia akan menjawab
ya; jika seseorang menanyai anak itu mengapa salah, jawabannya akan muncul
seperti, "Karena ibu akan menghukum saya jika saya mencuri. Anak itu hanya
dapat melihat sesuatu dari sudut pandangnya sendiri, karena ia masih belum
mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi dengan orang lain pada cakupan yang
lebih luas, maka motivasi utamanya berpusat pada dirinya.[20]
Tahap Satu: Orientasi
Hukuman dan Ketaatan Pada tahap ini,
konsekuensi fisik sebuah tindakan sepenuhnya ditentukan oleh kebaikan atau
keburukan tindakan itu. Alasan anak untuk melakukan hal yang baik adalah untuk
menghindari hukuman atau menghormati kekuatan otoritas fisik yang lebih besar.
Ada sedikit kesadaran bahwa orang lain memerlukan atau menginginkan hal yang
sama dengan dirinya.
Tahap Dua: Orientasi
Instrumen dan Relativitas Pada tahap ini, tindakan
yang benar adalah yang dapat berfungsi sebagai instrumen untuk memuaskan
kebutuhan anak itu sendiri atau kebutuhan mereka yang dipedulikan anak itu.
Anak sekarang sadar bahwa orang lain mempunyai kebutuhan dan keinginan yang
sama dengan dirinya dan mulai menghormati mereka agar mereka melakukan apa yang
dia inginkan.
Level Dua: Tahap
Konvensional
Mempertahankan
ekspektasi keluarganya sendiri, kelompok sebaya dan negaranya sekarang dilihat
sebagai sesuatu yang bernilai, tanpa memedulikan akibatnya. Orang pada level
perkembangan ini tidak hanya berdamai dengan harapan, tetapi menunjukkan loyalitas
terhadap kelompok beserta norma-normanya. Jika seseorang menanyai seorang
remaja pada level ini tentang mengapa sesuatu salah atau mengapa sesuatu benar,
misalnya, dia mungkin akan menjawab dengan istilah "apa yang teman-teman saya
pikirkan," "apa yang keluarga saya pikirkan tentang saya,"
"Apa yang kita yakini sebagai orang Amerika." Atau bahkan "apa
yang dikatakan hukum kita." Remaja pada tahap ini sekarang dapat melihat
situasi dari sudut pandang orang lain, tetapi perspektif yang diambilnya
merupakan pandangan umum orang-orang yang termasuk dalam kelompok sosial si
remaja, seperti keluarga, teman sebaya, organisasi, negara, dan kelas sosial
dan dia mengasumsikan bahwa setiap orang seperti mereka. Orang dimotivasi untuk
menyesuaikan dengan norma-norma kelompok dan mengesampingkan kebutuhan individual
demi kebutuhan kelompok.[21]
Tahap Tiga: Orientasi
Kesesuaian Interpersonal Perilaku yang baik pada
tahap konvensional awal ini memenuhi ekspektasi mereka dari mana dia merasakan
loyalitas, afeksi, dan kepercayaan seperti keluarga dan teman. Tindakan yang benar
merupakan konformitas terhadap apa yang secara umum diharapkan dari perannya
sebagai anak, saudara, teman yang baik, dan sebagainya. Melakukan apa yang baik
dimotivasi oleh kebutuhan untuk dilihat sebagai pelaku yang baik dalam
pandangannya sendiri dan pandangan orang lain.
Tahap Empat: Orientasi
Hukum dan Keteraturan Benar dan salah pada
tahap konvens yang lebih dewasa kini ditentukan oleh loyalitas terhadap negara
atau masyarakat sekitarnya yang lebih besar. Hukum dipatuhi kecuali tidak
sesuai dengan kewajiban sosial lain yang sudah jelas. Seseorang sekarang dapat
melihat orang lain sebagai bagaian sistem sosial yang lebih besar yang
mendefinisikan peran dan kewajiban individual, dan dia dapat memisahkan
norma-norma yang berasal dari sistem ini dari relasi interpersonal dan
motif-motif pribadi.
Level Tiga: Tahap
Postkonvensional, Otonom, atau Berprinsip
Pada
tahap ini, seseorang tidak lagi secara sederhana menerima nilai dan norma kelompoknya.
Dia justru berusaha melihat situasi dari sudut pandang yang secara adil mempertimbangkan
kepentingan setiap orang. Dia mempertanyakan hukum dan nilai yang diadopsi oleh
masyarakat dan mendefinisikan kembali dalam pengertian prinsip moral yang
dipilih sendiri yang dapat dijustifikasi secara rasional. Jika orang dewasa
pada tahap ini ditanya mengapa sesuatu salah, ia akan merespons dalam
pengertian apa yang telah diputuskan melalui proses yang "adil bagi setiap
orang," atau dalam pengertian “keadilan," "hak asasi
manusia," atau "kesejahteraan seluruh masyarakat." Hukum dan nilai
yang pantas adalah yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang memotivasi orang
yang rasional untuk menjalankannya.[22]
Tahap Lima: Orientasi
Kontrak Sosial Pada tahap
postkonvensional ini, seseorang menjadi sadar bahwa mempunyai beragam pandangan
dan pendapat personal yang bertentangan dan menekankan cara yang adil untuk
mencapai konsensus dengan kesepahaman, kontrak dan proses yang matang. Dia
percaya bahwa nilai dan norma bersifat relatif, dan, terlepas dari konsensus demokratis
ini, semua hendaknya diberi toleransi.
Tahap Enam: Orientasi
Prinsip Etis Universal Pada tahap terakhir ini,
tindakan yang benar didefinisikan dalam pengertian prinsip moral yang dipilih
karena komprehensivitas, universalitas, dan konsistensinya. Prinsip etis ini
tidak sekonkret Sepuluh Perintah Allah, tetapi merupakan prinsip umum yang
abstrak yang berkaitan dengan keadilan, kesejahteraan masyarakat, kesetaraan
hak asasi manusia, rasa hormat terhadap martabat manusia individual, dan ide
bahwa manusia bernilai pada dirinya dan harus diperlakukan demikian. Alasan
seseorang untuk melakukan apa yang benar berdasarkan pada komitmen terhadap
prinsip-prinsip moral tersebut dan dia melihatnya sebagai kriteria untuk
mengevaluasi semua aturan dan tatanan moral yang lain.
Teori
Kohlberg membantu kita memahami bagaimana kapasitas moral kita berkembang dan memperlihatkan
bagaimana kita menjadi lebih berpengalaman dan kritis dalam menggunakan dan
memahami standar moral yang kita punyai. Riset yang dilakukan Kohlberg dan yang
lainnya menunjukkan, meskipun orang tumbuh melalui tahapan-tahapan dengan
urutan yang sama, tidak setiap orang mengalami perkembangan. Kohlberg menemukan
bahwa banyak orang berhenti pada tahap awal sepanjang hidup mereka. Bagi mereka
yang tetap tinggal pada tahap prakonvensional, benar dan salah terus-menerus
didefinisikan dalam pengertian egosentrik untuk menghindari hukuman dan
melakukan apa yang dikatakan oleh figur otoritas yang berkuasa. Bagi mereka
yang mencapai tahap konvensional tetapi tidak pernah maju lagi, benar dan salah
selalu didefinisikan dalam pengertian norma-norma kelompok sosial mereka atau hukum
negara atau masyarakat mereka. Namun demikian, bagi mereka yang mencapai level postkonvensional
dan mengambil pandangan yang reflektif dan kritis terhadap standar moral yang
mereka yakini, benar dan salah secara moral didefinisikan dalam pengertian
prinsip-prinsip moral yang mereka pilih bagi diri mereka sendiri sebagai yang
lebih rasional dan memadai.[23]
Berulang
kali kita telah menggunakan istilah penalaran moral. Apakah arti istilah tersebut?
Penelaran moral mengacu pada proses penalaran di mana perilaku, institusi, atau
kebijakan dinilai sesuai atau melanggar standar moral. Penalaran moral selalu melibatkan
dua komponen mendasar: (a) pemahaman tentang yang dituntut, dilarang, dinilai
atau disalahkan oleh standar moral yang masuk akal; dan (b) bukti atau
informasi yang menunjukkan bahwa orang, kebijakan, institusi, atau perilaku
tertentu mempunyai ciri-ciri standar moral yang menuntut, melarang, menilai,
atau menyalahkan.[24]
Sebelum
ini telah dikatakan bahwa realitas moral dalam kehidupan masyarakat yang
terjernihkan lewat studi kritis (critical studies) adalah wilayah etika.
Dalam hal ini, etika mengkritisi moralitas sehingga moral tidak lain adalah obyek
material dari pada etika rasional yang menghasilkan perenungan filosofis. Jika
yang dimaksud moralitas kehidupan itu merupakan wilayah ekonomi, maka moral
ekonomi inilah yang perlu kita pikirkan secara kritis agar bisa menghasilkan
moralitas yang bermakna bagi kehidupan.[25]
“In relation to the definition,
there are a wide range of aspects that make the definition of Business Ethics
very difficult, if not impossible (see [19]). For example, in one attempt to
define Business Ethics, more than 150 textbooks were reviewed by Lewis [19] in
the 1980s. He established that some bits are important, including the focus on
social responsibility. the emphasis on honesty and fairness, the values that
are in accord with the common ones, behavior in line with one’s religious
beliefs, the philosophy of what is good and bad, and the emphasis on virtue,
leadership, and character. However, after the effort to group and link all
subjects around Business Ethics, he concluded that “Business Ethics is more
than just virtue, integrity, or character. It involves the application of one’s
understanding of what is morally right and truthful at a time of ethical dilemma”
([19], p. 383).”[26]
Kalau kita kaitkan dengan konteks
Indonesia dewasa ini yang tengah memacu pembangunan ekonomi, tapi justru
mengapa masih banyak pelanggaran moral yang berakibat merugikan keuangan
negara. Anehnya pelanggaran itu terus berkelanjutan dengan pelaku banyak dari
kalangan intelektual dan birokrat yang seharusnya menjadi uswah bagi
masyarakat. Kendati demikian karena diskursus ini berpretensi pada dataran
filosofis maka data-data yang berkaitan dengan masalah ekonomi sengaja tidak
diprioritaskan.[27]
Perenungan filosofis dimaksudkan
mengadakan refleksi untuk memahami suatu yang paling dasar, unsur-unsur atau
syarat-syaratnya yang paling hakiki, untuk dapat memahami semua fakta atau segi
yang ada.[28]
Dengan melalui perenungan filosofis ini kita akan memahami bahwa inti aktivitas
ekonomi adalah perilaku. Perilaku-perilaku ekonomi, bisa rumah tangga-rumah
tangga, bisa perusahaan-perusahaan dan bisa pemerintah.[29]
Berbicara tentang subjek pelaku
berarti berbicara tentang manusia. Karena di tangan manusialah segala aktivitas
perekonomian bisa dilaksanakan dan dikembangkan. Inilah yang dimaksud peran
subjek aktif dalam etika oleh M. Amin Abdullah.[30]
Manusia merupakan satu kesatuan fisio-psikis yang di dalam psikologi dikenal sebagai
makhluk monodualis. Bahkan ada yang mengatakan satu kesatuan
fisio-psikis-rohani.[31]
Manusia mempunyai ciri khas yang terbentuk dari faktor-faktor rohaniah,
psikologik, dan fisiologik dalam lingkungan budaya dan masyarakat
lingkungannya. Oleh karena itu, manusia seharusnya dipahami sebagai manusia
yang sejahtera jiwa dan raganya, dengan segi-seginya religius, kultural,
sosial, dan biologik.[32]
Kunci
etika bisnis sesungguhnya terletak pada pelakunya. Itu sebabnya misi diutusnya
Rasulullah SAW kedunia adalah untuk memperbaiki akhlak manusia yang telah
rusak. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Malik ibn Anas dalam kitabnya
al-Muwaththa‟ berikut:
“Dari Yahya al-Laitsi dari Malik
bahwasanya telah sampai kepadanya (berita) bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Aku
diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Malik Ibn Anas)
Mustaq Ahmad dalam disertasinya yang
berjudul Business Ethics in islam berupaya untuk mengeksplorasi,
menganalisa, dan mensintesa keputusan-keputusan yang relevan berdasarkan
Al-Qur’an, agar dapat menghasilkan teori yang dibutuhkan tentang etika.
Penemuan hasil kerja ini kemungkinan akan berfungsi sebagai dasar untuk
membangun sebuah teori yang kuat dan meyakinkan, yang dapat diaplikasikan di
setiap situasi, sekarang maupun yang akan datang.
Tidak diragukan lagi bahwa legalitas
bisnis dibahas oleh Al-Qur’an Eksposisi sintetik ajaran Al-Qur’an diharapkan
akan membantu kita dalam menggambarkan prinsip-prinsip dasar dari etika bisnis
Al-Qur’an. Ketaatan pada prinsip-prinsip ini akan memberikan jaminan keadilan
dan keseimbangan yang dibutuhkan dalam bisnis dan akan menjaga aktivitas
komersial pada koridor yang benar.[33]
Sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُ بِٱلْعَدْلِ وَٱلْإِحْسَٰنِ
وَإِيتَآئِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ وَٱلْبَغْىِ
ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS.
An-Nahl 16:90)
Untuk bisa mencapai tujuan itu,
Ahmad telah mencoba menggali secara mendalam ayat-ayat Al-Qur’an sehingga dapat
mecakup setiap keputusan atau saran yang dihasilkan dalam masalah ini.
Norma-norma ideal yang bersumber pada kitabullah inilah yang harus menjadi
pertimbangan setiap pelaku bisnis di manapun dan kapan pun mereka berada.
Yusuf Qardhawi, seorang ulama besar
millinium ketiga ini tidak ketinggalan ikut memperjelas bagaimana implikasi
etika dalam ekonomi, dalam sebuah karyanya yang berjudul Daurul Qiyam wal
Akhlaq fil Iqtishadil Islami.
Menurut Qardhawi poros risalah
nubuwah nabi Muhammad SAW adalah akhlak. Karena itu Islam telah mengiplikasikan
antara mu’amalah degan akhlaq, seperti jujur, amanah. adil, ihsan, berbuat
kebajikan, silaturahmi, dan sayang menyayangi. Dikaitkan pula akhlak pada aspek
hidup menyeluruh, sehingga tidak ada pemisahaan antara ilmu dengan akhlak,
antara politik dengan akhlak, antara ekonomi dengan akhlak, antara perang
dengan akhlak, dan lain sebagainya. Dengan demikian, akhlak menjadi daging dan
urat nadi kehidupan Islam[34]
yang harus memandu segala aktivitas seorang Muslim.
Jika kita berbicara tentang akhlak
dalam ekonomi Islam, maka tampak secara jelas di hadapan kita empat nilai
utama, yaitu rabbaniyyah (ketuhanan), akhlak, kemanusiaan, dan
pertengahan.[35]
Nilai-nilai ini mencerminkan keunikan dalam ekonomi Islam yang tidak dimiliki
oleh sistem ekonomi manapun di dunia.
Nilai-nilai tersebut merupakan
karakteristik syariat Islam yang kaffah, sempurna dalam segala dimensinya. Atas
dasar karakteristik itu ekonomi Islam jelas berbeda dengan sistem ekonomi
konvensional karena ia adalah sistem ekonomi ilahiah, ekonomi humanistis,
ekonomi moralistis, dan ekonomi moderat. Makna dan nilai pokok yang empat ini
mempunyai dampak terhadap seluruh aspek ekonomi, baik dalam masalah produksi,
komnsumsi, sirkulasi maupun distribusi. Semua itu terpola oleh nilai-nilai
tersebut, karena jika tidak, niscaya ke-Islam-an itu hanya sekedar symbol tanpa
makna.[36]
Sejalan dengan perkembangan zaman,
kecenderungan bisnis sekarang kian tidak memperhatikan masalah etika.
Akibatnya, sesame pelaku bisnis sering bertabrakan kepentingannya, bahkan
saling membunuh. Kondisi ini mencipatakan pelaku ekonomi yang kuat kian
merajai. Sebaliknya, yang kecil semakin terlindas. Keadaan seperti ini
mengancam pertumbuhan dan perkembangan dunia bisnis. Menghadapi kecenderungan
tersebut, Al-Qur’an relatif banyak memberikan garis-garis dalam kerangka
penambahan bisnis yang menyangkut semua pelaku ekonomi tanpa membedakan kelas.[37]
Apabila kenyataanya memang demikian
adalah tugas para ahli agar terus aktif menawarkan konsep-konsep nilai yang
bisa dijadikan panduan melalui perenungan mendalam. Perlu disadari,
bagaimanapun nilai moral tidak lepasdari ikatan ruang dan waktu yang selalu
berubah tiada henti. Perubahan itu membawa konsekuensi kurang relevannya
nilai-nilai moral untuk bisa dijadikan pedoman baku. Nah, dalam kondisi seperti
ini peran etika rasional maupun etika religius sangatlah diharapkan untuk bisa
merumuskan kembali nilai-nilai yang sesuai dengan perputaran zaman. [38]
Penerapan
etika bisnis Islam masih belum dipahami secara utuh oleh masyarakat terutama
pelaku bisnis baik yang awam terhadap istilah ini ataupun mereka yang
sebenarnya mengetahui hal ini. Banyak pelaku bisnis yang mengabaikan etika
bisnis dalam menjalankan usahanya atau hanya menjalankan etika yang menurut
mereka benar dan menguntungkan baginya. Profit oriented masih menjadikan
para pelaku usaha untuk tidak mengindahkan etika bisnis Islam.
Kejujuran
adalah masalah dasar yang ada dalam etika bisnis Islam. Ketika kejujuran ini
dilanggar oleh pelaku bisnis maka tidak adanya transparansi, menimbun, monopoli
dan munculnya sifat keserakahan dalam memeperoleh keuntungan menjadi rentetan
masalah berikutnya. Akhirnya, para pelaku bisnis akan saling mendzolimi satu
sama lain karena etika bisnis Islam yang diabaikan, seperti sabda Rasulullah
SAW:
إِنَّ التُّجَّارَ
يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلاَّ مَنِ اتَّقَى اللَّهَ وَبَرَّ وَصَدَقَ
Artinya: “Sesungguhnya para pedagang
akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti sebagai orang-orang fajir (jahat)
kecuali pedagang yang bertakwa pada Allah, berbuat baik dan berlaku jujur” (HR.
Tirmidzi dan Ibnu Majah, shahih dilihat dari jalur lain).
Etika
bisnis Islam berkaitan erat dengan keteladanan Rasulullah Saw. Hal ini dapat
dilihat dalam berbagai literatur yang mengisahkan tentang Rasulullah dalam
menjalankan bisnisnya yang kental dengan prinsip keislaman. Alquran dan
As-sunnah adalah dua hal yang ditinggal Rasulullah Saw. Kepada umatnya untuk dijadikan
pedoman hidup salah satu dalam bermuamalah.[39]
Etika
bisnis Islam direspon baik oleh masyarakat. Hal ini tidak terlepas dengan cara
kita dalam menyampaikan etika bisnis Islam. Sesungguhnya Allah mencintai
seseorang yang pekerja keras, Rasulullah SAW. bersabda:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ
“Sesungguhnya
Allah mencintai seorang hamba yang apabila ia bekerja, ia menyempurnakan
pekerjaannya”. (HR. Tabrani)
Dari penjelasan diatas, saya coba
tarik kesimpulan bahwa memang sangat penting diperlukannya etika dan moral
dalam suatu bisnis agar pengusaha atau perusahaan-perusahaan tidak seenaknya
mendirikan usaha serta menjalankannya tanpa memperdulikan lingkungan dan agama.
Dan dapat lebih peduli kepada karyawan atau para pekerjanya.
Di dalam persaingan dunia usaha yang
sangat ketat ini, etika bisnis merupakan sebuah harga mati, yang tidak dapat
ditawar lagi. Dalam zaman keterbukaan dan luasnya informasi saat ini, baik-buruknya
sebuah dunia usaha dapat tersebar dengan cepat dan luas. Memposisikan karyawan,
konsumen, pemasok, pemodal dan masyarakat umum secara etis dan jujur sesuai
dengan ajaran agama, yang bersumber pada Al-Qur’an maupun Hadist (sumber naql) adalah
satu-satunya cara supaya dapat bertahan di dalam dunia bisnis saat ini.
Ketatnya persaingan bisnis menyebabkan beberapa pelaku bisnisnya kurang
memperhatikan agama, moral dan etika dalam bisnis. Etika bisnis mempengaruhi
tingkat kepercayaan atau trust dari masing-masing elemen dalam lingkaran
bisnis. Pemasok (supplier), perusahaan, dan konsumen, adalah elemen yang saling
mempengaruhi. Masing-masing elemen tersebut harus menjaga etika, sehingga
kepercayaan yang menjadi prinsip kerja dapat terjaga dengan baik. Etika
berbisnis ini bisa dilakukan dalam segala aspek. Saling menjaga kepercayaan
dalam kerjasama akan berpengaruh besar terhadap reputasi perusahaan tersebut,
baik dalam lingkup mikro maupun makro. Tentunya ini tidak akan memberikan
keuntungan segera, namun ini adalah wujud investasi jangka panjang bagi seluruh
elemen dalam lingkaran bisnis. Oleh karena itu, etika dalam berbisnis sangatlah
penting.
Dengan
kata lain, etika bisnis menurut hukum Islam, dalam prakteknya menerapkan
nilai-nilai moral dalam setiap aktivitas ekonomi dan setiap hubungan antara
satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya. Nilai moral
tersebut tercakup dalam empat sifat, yaitu shiddiq, amanah, tabligh, dan
fathonah. Keempat sifat ini diharapkan dapat menjaga pengelolaan
institusi-institusi ekonomi dan keuangan secara profesional dan menjaga
interaksi ekonomi, bisnis dan social berjalan sesuai aturan permainan yang
berlaku.
Etika
hendaknya diterapkan dalam bisnis dengan menunjukan bahwa etika konsisten dengan
tujuan bisnis, khususnya dalam mencari keuntungan. Oleh karena itu, jika kita
ingin selamat dunia dan akhirat, kita harus memakai etika dalam keseluruhan
aktivitas bisnis yang berlandaskan pada ajaran agama yaitu Al-Qur’an dan
Hadist.
Abdullah, M. Amin
dan Iawan Triyowono, Etika Muamalah, Malang: Program Pascasarjana, UMM,
1997.
Abdullah, M. Amin,
Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Ahmad, Mustaq, Business
Ethics in Islam, Pakistan: The International Institute of Islamic Thought.
Anggraeny, Galuh, Pembelajaran
dan Implementasi Etika Bisnis Islam, Journal of Multidisciplinary Studies
(Academica), Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2017 ISSN: 2579-9703 (P) | ISSN:
2579-9711 (E), 2017.
Al-Sajsatani,
al-Azdi Sulayman ibn al-Ash-‘ashi Abu Dawud, Sunan Abi Dawud Juz 3,
Libnan: Dar al Fikr, tt
Cryssiders, Georde
D, & John E.H. Kaler, An Introduction to Business Ethics, London:
Chapman & Hall, 1993.
Djakfar, Muhammad,
Religion and Ethics Eksplorasi Posisi Agama dan Etika dan hubungan Antara
Keduanya (Kajian dari Aspek Filsafat), Makalah Seminar Kelas untuk Mata
kuliah Filsafat Agama Program Doktor Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel
Surabaya Semester Genap 2003/2004.
Jose, Laire San
and Jose Luis Retolaza, “European Business Ethics: agenda based on a Delphi
analysis”, European Journal of Futures Research 6:12
https://doi.org/10.1186/s40309-018-0141-0, (2018).
-------, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan
Kearifan lokal, Malang: UIN-Maliki Press, 2019.
Qardawi, Yusuf, Dawr
al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtishad al-Islami, Kairo, Mesir: Maktabah
Wahbah, 1995 M/1415 H.
Rowland, Diana, Etika
Bisnis Jepang: Petunjuk Praktis Menuju Sukses Orang Jepang, ter. Sahat
Simamora, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Shihab, M.
Quraish, “Etika Bisnis dalam Wawasan Al-Qur’an,” dalam jurnal Kebudayaan dan
Peradaban ULUMUL QUR’AN, edisi 3/VII/97.
Stewart, David, Business
Ethics, New York: The Mc Grow Hill Companies, Inc, 1996.
Sukirno, Sadono, Pengantar
Teori Mikro Ekonomi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.
Velasquez, Manual
G, Business Ethics: Concept and Cases 3rd Edition,
Englewood Cliffs NJ, Printince Hall, 1992.
-------, Etika
Bisnis Konsep dan Kasus, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2005.
Wibisono, Koento, Arti
Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Yogyakarta: Gajah
Mada University, 1983.
[1]
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan
lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 22
[2] Qardawi,
Dawr al-Qiyam, 57
[3]
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan
lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 24-25
[4] Ibid.,
25-27
[5] Ibid.,
28-35
[6] David
Stewart, Bussiness Ethics (New York :The Mc Grow Hill Companies Inc,
1996), 47
[7] Georde
Chryssiders & John E.H. Kaler, An Introduction to Business Ethics (London
:Chapman & Hall, 1993), 249, dan lihat pula M. Amin Abdullah dan Iwan
Triyuwono, Etika Muamalah (Malang: Program Pascasarjana UMM, 1997).
[8] Sunan
al-Turmudhi, Juz 9:58
[9] Al-Azdi,
Sulayman ibn al-Ash-ashi Abu Dawud al-Sajsatani, Sunan Abi Dawud Juz 3,
(Libnan :Dar al-Fikr, tt), 245
[10] Sunan
al-Turmudhi, Juz 7:213
[11] Diana
Rowland, Etika Bisnis Jepang: Petunjuk Praktis Menuju Sukses Orang Jepang,
ter. Sahat Simamora, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), 108
[12] Sahih
al-Bukhari, Juz 7:228
[13] Manuel
G. Velasquez, Business Ethics, Concept and Cases 3 Edition, (Englewood
Cliffs NJ, Printince Hall, 1992), 184 dan M. Amin Abdullah & Iwan
Triyuwono, Etika Muamalah (Malang: Program Pascasarjana UMM, 1997), 80
[14] Sahih
al-Bukhari, Juz 7: 240
[15]
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan
lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 72
[16]
Muhammad Djakfar, Religion and Ethics Eksplorasi Posisi Agama dan Etika dan
hubungan Antara Keduanya (Kajian dari Aspek Filsafat), makalah seminar
kelas untuk mata kuliah Filsafat Agama program doktor program pasca sarjana
IAIN Sunan Ampel Surabaya semester genap 2003/2004, 16-17
[17]
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan
lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 75-76
[18] Ibid.,
79
[19] Manuel
G. Velasquez, Etika Bisnis: Konsep dan Kasus, (Yogyakarta: Penerbit
Andi, 2005), 25
[20] Ibid.,
26
[21] Ibid.,
[22] Ibid.,
27
[23] Ibid.,
[24] Ibid.,
30
[25]
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan
lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 79
[26] Laire
San Jose and Jose Luis Retolaza, “European Business Ethics: agenda based on a
Delphi analysis”, European Journal of Futures Research (2018) 6:12 https://doi.org/10.1186/s40309-018-0141-0,
2
[27] Ibid.,
80
[28] Koento
Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte
(Yogyakarta: Gajah Mada University, 1983), 101
[29] Sadono
Sukirno, Pengantar Teori Mikro Ekonomi (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1997), 37
[30]
Abdullah, Falsafat Kalam, 213
[31]
Wibisono, Arti Perkembangan, 101
[32] Ibid,
102
[33] Mustaq
Ahmad, Business Ethics in Islam (Pakistan: The International Institute
of Islamic Thought, 2001), 3
[34] Yusuf
Qardhawi, Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Iqtishadil Islami (Kairo, Mesir:
Maktabah Wahbah, 1995 M/1415 H), 4
[35] Ibid.,
23
[36]
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan
lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 87
[37] M.
Quraish Shihab, Etika Bisnis dalam wawasan Al-Qur’an, dalam jurnal
Kebudayaan dan Peradaban ULUMUL QUR’AN, edisi 3/VII/97, 4
[38]
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Paradigma Spiritualitas dan Kearifan
lokal, (Malang: UIN-Maliki Press, 2019), 88
[39] Galuh
Anggraeny, (2017), Pembelajaran dan Implementasi Etika Bisnis Islam,
Journal of Multidisciplinary Studies (Academica), Vol. 1 No. 2, Juli-Desember
2017 ISSN: 2579-9703 (P) | ISSN: 2579-9711 (E), 239